Secara bercanda seorang teman saya mengatakan, para Presiden yang pernah memerintah Indonesia, melanggar Pancasila.
Dengan gaya seorang orator ulung, teman saya itupun berbicara di depan teman-teman kami lainnya.
Menurut teman saya itu, masing-masing Presiden melanggar salah satu dari 5 Sila yang dijadikan dasar negara itu.
Inilah pelanggaran terhadap Pancasila versi tema saya itu :
-Presiden Soekarno, melanggar Sila 1; Ketuhanan Yang Maha Esa, karena membiarkan adanya faham Komunisme yang identik tak mempercayai adanya Tuhan (Atheist).
-Presiden Soeharto, melanggar Sila 2; Kemanusiaan yang adil dan beradab. Pada masa pemerintahan Soeharto, terdapat Petrus, atau penembak misterius, yang melenyapkan siapa saja yang dianggap membahayakan ketertiban masyarakat, juga ada Kopkamtib yang tugasnya kurang lebih sama dengan Petrus untuk menghilangkan siapa saja yang dianggap dapat membahayakan eksistensi pemerintahan yang sedang berkuasa.
-BJ. Habibie, dianggap melanggar Sila 3; Persatuan Indonesia. Karena pada masa inilah Timor Timur (Timor Leste) yang telah susah payah diperjuangkan masuk kedalam NKRI, lepas dan merdeka melalui referendum.
-Abdurrahman Wachid atau Gus Dur, melanggar Sila 4; Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah, kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Gus Dur melecehkan keberadaan Wakil Rakyat dengan mengatakannya seperti para murid Sekolah Taman Kanak-kanak (TK).
-Megawati Soekarnoputri, melanggar Sila 5; Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Presiden ini pada masanya beberapa kali menaikkan harga BBM, cukup meresahkan dan menyengsarakan rakyat, serta menjual aset negara ke negara tetangga Singapura.
Adapun lanjut teman saya itu, Presiden SBY, tak ada lagi dari ke-5 point Pancasila itu yang bisa dilanggar, karena sudah dilanggar oleh para Presiden sebelumnya, maka SBY kebagian kualatnya berupa musibah yang datang bertubi-tubi melanda negeri ini; Tsunami di Aceh, beberapa kali teror bom, letusan merapi, lumpur Lapindo, musibah jatuhnya pesawat terbang, dan entah musibah apalagi yang sudah menghadang dan antri menunggu giliran.
Silakan para Kompasianer menyimak, setuju atau tidak setuju terhadap candaan teman saya ini yang saya anggap semacam anekdot (bisa juga ANEHdot, asal jangan pakai com). Tak usah tersinggung apalagi protes, tapi patut kita renungkan hikmah dibalik candaan ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H