"Pagi ini kita sarapan nasi karak saja di warung dekat pelabuhan," kata paman, adik ibuku usai aku mandi dan berpakaian.
Deg ! Aku kaget dan heran.
Terbayang di benakku kerak nasi yang berwarna agak kekuningan atau yang hampir berwarna hitam gosong. Pikirku buat apa jauh-jauh datang ke pulau Jawa dari Kalimantan bila cuma disuguhi sarapan kerak nasi, di kampung saja kerak nasi hanya untuk makanan ayam dan itik.
Aku diam saja mendengar perkataan paman. Namun bayanganku terhadap kerak nasi masih belum hilang. Aku ikut saja saat diajak paman keluar rumah.
Cerita ini atau lebih tepatnya pengalaman pribadiku saat berkunjung ke tempat paman di daerah Panarukan Kabupaten Situbondo Jawa Timur puluhan tahun lalu.
Singkatnya kami sampai di sebuah warung di sekitar pelabuhan laut yang menurut informasi warga setempat adalah dulunya milik perusahaan Djakarta LLoyd.
Paman memesan 2 porsi nasi karak, aku pun dengan tak sabar ingin melihat kerak nasi yang keluar seperti bayanganku.
Beberapa saat kemudian keluarga pemilik warung sambil membawa 2 piring nasi. Olala, yang keluar bukan kerak nasi seperti bayanganku sejak dari rumah kemarin. Yang kami terima adalah tak ubahnya seperti nasi biasa, hanya saja warnanya tak begitu putih. Nasi karak itu disertai ikan teri asin yang dimasak menggunakan kuah.
Aku pun melahap nasi karak yang bukan dari kerak nasi itu hingga tandas, bahkan aku minta tambah 1 porsi lagi. Harga nasi karak waktu itu seingatku seporsi sebesar Rp 125, murah, karena waktu itu belum krisis, masih era Orba.
Entah karena memang sedang lapar, atau karena baru ketemu, 2 porsi nasi karak kuhabiskan pagi itu. Paman mentertawakanku saat kami tiba di rumah. "Makanya jangan punya pikiran jelek dulu membayangkan makan kerak nasi," ejek paman sambil terkekeh.
Menurut paman yang sejak remaja sudah bermukim disana, nasi karak tersebut merupakan sisa nasi yang tak termakan, dijemur hingga kering, kemudian ditanak kembali dengan sistem diuapkan didalam panci.
Nasi karak ini tidak saja dikonsumsi oleh warga kelas bawah, juga dijual di warung sebagai sarapan dengan lauk ikan kering, ada juga yang dibubuhi parutan kelapa yang digoreng kering tanpa minyak (disangrai).
Bila di daerahku, di kampungku, sisa-sisa nasi yang tak habis dimakan oleh para penyantapnya, terutama di warung dan rumah makan, dibuang saja ke bak sampah, atau untuk makanan hewan, namun disana, di banyak tempat di pulau Jawa, dimanfaatkan kembali untuk konsumsi manusia. Aku jadi membayangkan seandainya sisa-sisa nasi dari warung dan rumah makan di kampungku itu dikumpulkan, pasti setiap harinya dapat terkumpul berkarung-karung, dan bisa memberi makan banyak orang yang kurang mampu membeli beras.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H