Jalan setapak yang kulewati itu berada di tepi tebing. Lebar jalan tak lebih dari 4 meter, berbatu, ditumbuhi tumbuhan semak di tepinya. Tampak di bawah jalan setapak yang kulewati itu pucuk-pucuk berbagai jenis pohon; Meranti, Ulin, Kelampayan (Jabon), Keruing, dan Mangaris (Kempas).
Perjalananku menyusuri jalan setapak di bagian pegunungan Meratus itu ditemani Aslani, seorang pria dari suku Dayak Meratus kenalanku.
Kami sedang menuju ke sebuah perkampungan di pelosok di kaki pegunungan Meratus yang berada di wilayah Kalimanatan Selatan.
Perjalanan kami lakukan dengan berjalan kaki dari Desa Gadang, dimana kami menitipkan sepeda motor. Teman seperjalanku bilang lebih baik berjalan kaki daripada naik sepeda motor, karena jika kurang lihai, apalagi tak kenal medan, bisa-bisa bukan tiba di kampung tujuan, tapi ke alam baka, jatuh ke jurang. Bergidik aku mendengar penuturannya.
Benar kata Aslani, kusaksikan sendiri jalan setapak yang memang di sisinya adalah jurang yang sangat dalam.
Perjalanan kami memakan waktu lebih dari 1 jam untuk mencapai perkampungan sekelompok suku Dayak itu. Tujuan kami kesana adalah mencari hasil hutan; madu, damar, dan kayu manis.
Akhirnya dari kejauhan terdengar lamat-lamat seperti air mengalir. Kata Aslani, itu suara air sungai yang mengalir di sela bebatuan yang berada di perkampungan itu.
Setiba di perkampungan tersebut, kami menuju ke sebuah rumah yang masih merupakan kerabat Aslani. Bangunan rumah yang dari tiang, lantai, dinding, hingga atap seluruhnya terbuat dari batang bambu, tanpa paku sebilah pun, direkatkan dengan ikatan rotan. Bangunan rumah yang tak memiliki kamar, berukuran sekitar 3 x 4 meter itu merupakan rumah panggung yang jarak lantai dari tanah lebih dari 2 meter.
Bangunan rumah yang sangat unik, antik, dan artistik, serta alami.
Karena sudah menjelang sore, kami memutuskan istirahat saja di rumah tersebut yang dihuni oleh sepasang suami istri dengan 2 orang putri yang menjelang perawan. Jadilah penghuni rumah tersebut kini menjadi 6 orang dengan kami.
Kami memutuskan besok pagi saja memulai pencarian hasil hutan yang menjadi tujuan kami. Lagi pula kami perlu informasi dan bantuan tuan rumah yang tentu lebih banyak tahu mengenai keberadaan hasil hutan tersebut.
Menurut tuan rumah, di perkampungan tanpa status pemerintahan itu, terdapat sekitar 25 rumah, atau Kepala Keluarga. Jarak antara satu rumah dengan lainnya cukup berjauhan, puluhan meter.
Karena tak terdapat kepala pemerintahan, perkampungan tersebut dipimpin oleh salah seorang dari mereka yang bertindak sebagai Tetua, sekaligus pemimpin adat.
Meski terdapat beberapa keluarga yang menjadi penganut Nasrani, namun sebagian besar warga disana menganut kepercayaan asli nenek moyang mereka; Kaharingan (kehidupan), yang mempercayai Sang Hyang Wanang sebagai penguasa alam semesta.
Pagi itu ketika aku bangun, sangat ramai terdengar suara orang bercakap. Aku pun menjulurkan kepalaku melalui jendela, memandang ke arah sungai yang berjarak belasan meter dari rumah dimana aku berada. Tampak banyak warga, pria dan wanita serta anak-anak sedang mandi dan mencuci di sungai yang airnya sangat jernih.
Meski aku tertarik menyaksikan air sungai jernih yang sedang mengalir itu, aku urungkan ke sungai. Aku pikir nanti saja setelah agak sepi baru aku ke sungai.
Siangnya kami pun jalan ditemani tuan rumah dimana kami menginap, mendatangi rumah-rumah warga yang diketahui memiliki dan menyimpan hasil hutan yang sedan kami cari. Hampir semua rumah warga yang kami kunjungi menyimpan dan memiliki madu, asli, diambil dari sarang lebah yang menempel dan bersarang di pohon. Setiap kali kami bertamu, disuguhi madu yang ditempatkan di botol plastik kecil bekas air mineral, banyaknya sekitar setengah liter. Kami tidak saja disuruh mencicipi madu yang disuguhkan tersebut, tapi juga disuruh bawa sebagai pemberian dari tuan rumah. Jadilah dari hasil bertamu itu kami membawa belasan botol madu hasil pemberian.
Namun tentunya tak lupa kami ungkapkan maksud kedatangan kami untuk membeli madu, mereka pun bersedia menjualnya ke kami. Harganya, jika per botol Rp 3 ribu, per liter juga Rp 3 ribu, dan jika dihitung per kilogram pun harganya sama Rp 3 ribu.
Aneh juga aku pikir harga madu dengan berbagai ukuran tetap saja Rp 3 ribu.
Belum hilang keherananku terhadap harga madu, ketika kutanya harga per kilogram kayu manis, mereka katakan juga Rp 3 ribu. Alamak......ternyata harga per kilogram damar pun juga Rp 3 ribu. Kok semua serba Rp 3 ribu. Apa mereka semua itu tahunya hanya angka 3, atau 3 ribu. Namun keherananku kusimpan saja sampai temanku bilang bahwa warga di perkampungan itu pun ada yang mendulang (menambang) emas.
Kepada teman aku minta antar ke tempat para warga yang mendulang emas. Kami pun pergi kesana.
Para warga tersebut menambang emas secara trasisional dengan menggali tanah. Lalu tanah itu ditaruh di tempat semacam nampan yang terbuat dari kayu ulin, mereka menyebut tempat itu 'dulangan'. Tanah hasil galian yang diduga menyimpan emas tersebut yang sudah berasa diatas dulangan, dibersihkan di sungai sehingga tampak butir-butir emas kekuningan.
Seperti harga madu, damar dan kayu manis, kupikir pastilah harga emas yang mereka peroleh itu juga seharga Rp 3 ribu per gramnya.
Aku pun menanyakan langsung ke pendulang berapa mereka menjual hasil emasnya. Ternyata aku kecele. Harga emas itu mereka tawarkan sebesar Rp 13 ribu per gram.