Mohon tunggu...
Imi Suryaputera™
Imi Suryaputera™ Mohon Tunggu... Administrasi - Jurnalis, Penulis, Blogger

Pria, orang kampung biasa, Pendidikan S-3 (Sekolah Serba Sedikit)\r\n

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Pasca Tambang, Kalsel Jadi Produsen Kulit Buaya Terbesar di Indonesia

18 April 2012   04:11 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:29 1712
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_182627" align="alignleft" width="295" caption="Sebuah lokasi tambang liar (dok. pribadi)"][/caption] Perut bumi Kalimantan Selatan dikeruk, yang kaya adalah para pengusaha. Hari itu cuaca sangat terik dengan sedikit angin yang bertiup. Meski demikian debu-debu beterbangan mengaburkan pandanganku melalui kaca depan mobil. Debu-debu itu ditimbulkan oleh truk tronton yang hilir mudik mengangkut batubara dari lokasi tambang ke pelabuhan. Di sebuah lokasi pertambangan batubara di kawasan yang dulunya eks konsesi HPH (Hak Pengusahaan Hutan) PT. Alam Unda di wilayah Kecamatan Satui Kabupaten Tanah Bumbu Kalimantan Selatan, di sebuah pondok yang terbuat dari potongan kayu-kayu yang diambil dari sekitar lokasi, berlantai tanah liat merah, dan beratap daun nipah, 2 orang tampak duduk berbicara satu sama lain sambil mengisap rokok dan memandang ke arah kami. Kedua orang tersebut adalah para pekerja tambang, tenaga pengamanan, tanpa seragam resmi. Keduanya pun menanyakan maksud kedatangan kami dengan nada sedikit curiga, apalagi mereka memandang ke arah kamera merk Canon yang sedang aku pegang. Kukatakan kepada mereka bahwa aku mau mengambil dokumentasi lokasi tambang untuk dikirim kepada seorang calon trader/pembeli batubara di Jakarta. Padahal aku cuma berdalih agar rasa kecurigaan mereka tak berlanjut. Mereka percaya omonganku, aku pun bersama seorang teman menjadi leluasa mengarahkan kamera ke objek yang kami kehendaki. Usai mengambil gambar, beberapa pertanyaan aku arahkan terhadap kedua pekerja tambang tersebut. Mereka mengatakan tambang tempat mereka bekerja milik seorang pengusaha lokal yang mendapat modal dari pengusaha luar daerah. Keduanya tak mengetahui nama perusahaan tempat mereka bekerja itu. “Nggak tau, yang penting gaji kami dibayar,” ungkap keduanya. Masih menurut pekerja tersebut. Di sekitar lokasi dimana kami sedang berada, banyak terdapat lokasi tambang lainnya, pemiliknya berbeda-beda. Ditambahkan, jika pihak aparat kepolisian melakukan operasi penertiban, para pelaku penambangan akan istirahat. Why ? Menurut mereka rata-rata tambang tersebut tak memiliki ijin alias tambang liar. Namun biasanya sebelum melakukan operasi pihak aparat penertiban itu akan memberi tahu terlebih dahulu kepada para penambang yang ‘setor’ ke mereka. Sehingga setiap kali penertiban, hasil operasi hanya menjaring beberapa peralatan berat, dan bahkan hasilnya nihil, karena para pelaku penambangan sudah terlebih dulu mengamankan peralatan berat mereka. Beberapa pelaku penambangan yang berhasil kutanya mengungkapkan, untuk bisa aman melakukan aktivitas penambangan secara ilegal, mereka membayar semacam ‘dana taktis’ kepada pihak-pihak terkait; oknum aparat kepolisian dari tingkat Polsek, Polres, Polda, bahkan yang berskala besar sampai memberikan “upeti’ ke oknum di Mabes Polri. Karenanya tak jarang terdapat diantara para penambang ilegal itu yang kelepasan omong bahwa mereka di-back up oleh Jenderal ini, Jenderal itu, dan Jenderal anu yang bertugas di Mabes Polri. [caption id="attachment_182628" align="alignright" width="281" caption="Pengangkutan batubara keluar daerah (dok. pribadi)"]

13347221211888384825
13347221211888384825
[/caption] Ungkapan beberapa pelaku penambang ilegal bahwa mereka menyetor uang keamanan kepada oknum aparat penegak hukum itu, boleh jadi bisa benar. Karena jika melihat kondisi kehidupan ekonomi para anggota oknum kepolisian disana yang rata-rata enak. Seorang Kapolsek yang di wilayah hukumnya terdapat aktivitas penambangan, bisa memiliki mobil yang lumayan mahal. Jika seorang Kapolsek saja bisa memiliki mobil lumayan bagus dan mahal, apalagi pejabat yang diatas yang menjadi atasannya. Selain menerima ‘setoran’ dari para penambang liar, ada pula oknum yang malahan ikut terlibat langsung melakukan aktivitas penambangan. Bukan rahasia lagi bila memang terdapat oknum kepolisian yang berusaha di bidang pertambangan. Penelusuran masalah ini kami lanjutkan ke bidang usaha lain yang memiliki keterkaitan dengan aktivitas penambangan tersebut. Maraknya kegiatan penambangan batubara khususnya di 3 wilayah kabupaten di Kalimantan Selatan; Kabupaten Tanah Laut, Tanah Bumbu, dan Kotabaru, membuka peluang usaha yang bisa bikin kaya dalam waktu yang tak terlalu lama. Bidang usaha yang terkait langsung dengan usaha penambangan adalah penyediaan Bahan Bakar Minyak (BBM) terutama jenis Solar sebagai bahan bakar untuk peralatan berat; excavator, bulldozer, grader, loader, dan truk-truk pengangkut. BBM jenis Solar yang dipasok ke lokasi-lokasi tambang adalah kebanyakan BBM yang berasal dari SPBU, yang dibeli dengan harga subsidi oleh para pengumpul, lalu kemudian dijual kembali dengan harga industri. Makanya tidaklah mengherankan mereka yang berusaha di bidang ini cepat menjadi kaya. Sedangkan pemandangan setiap hari di semua SPBU, penuh antrian mobil yang menunggu giliran membeli solar dalam jumlah banyak. Seorang pembeli dan pengumpul solar mengungkapkan, ia membeli di SPBU dengan harga per liternya lebih mahal daripada harga subsidi. Ini karena ia sudah diketahui pengelola SPBU sebagai ‘pelangsir’ atau sebutan untuk mereka yang membeli BBM dalam jumlah bayak untuk keperluan dijual kembali. Ia mengaku dalam sehari paling sedikit dapat membeli 100 liter solar, yang bila ia jual kepada pengumpul ia akan mendapat keuntungan bersih sebesar Rp 1.500 per liternya, berarti untuk 100 liter bisa mengantongi keuntungan sebesar Rp 150 ribu. Di bidang usaha ini pun menurut beberapa pelangsir, tak sedikit oknum aparat kepolisian yang ikut bermain; menerima setoran dari para pelangsir, atau ikut menjadi pelangsir pula dengan menggunakan orang lain yang menjalankan usahanya. Adapun mereka yang tak memiliki modal usaha untuk bisa ikut bermain, terutama warga yang tak memiliki keahlian, bisa menjadi pengumpul batubara yang jatuh dari truk-truk pengangkut dan terhambur di jalan. Batubara tersebut dikumpulkan untuk dimasukkan kedalam karung, dijual kepada para pembeli yang jumlahnya cukup banyak. Selain itu para pengumpul batubara ini bisa juga mencarinya di bekas lokasi tambang yang telah ditinggalkan oleh pekerjanya. Sekarung batubara yang rata-rata memiliki berat sekitar antara 60 kg hingga 70 kg dihargai sebesar Rp 10 ribu oleh para pembelinya. Sementara warga pengumpul atau pekerja batubara karungan (kerennya; coal in bag), hanya cukup buat makan dan bertahan hidup, sedangkan para pelaku penambangan ilegal beserta para oknum yang terlibat, bisa menjadi kaya dan terus bertambah makmur. Begitupun dengan mereka yang merampas subsidi BBM di SPBU, punya peluang pula untuk bisa menjadi kaya. Belum terbayang akan seperti apa daerah-daerah di Kalimantan Selatan nantinya setelah seluruh isi perut buminya dikuras dengan meninggalkan ribuan lobang besar yang menganga tanpa reklamasi. Beberapa warga setempat menanggapinya secara bergurau, bekas-bekas tambang yang berubah menjadi danau-danau itu, diisi saja dengan bibit buaya, yang mana ke depannya bisa mengubah Kalimantan Selatan menjadi produsen kulit buaya terbesar di Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun