Mohon tunggu...
Imi Suryaputera™
Imi Suryaputera™ Mohon Tunggu... Administrasi - Jurnalis, Penulis, Blogger

Pria, orang kampung biasa, Pendidikan S-3 (Sekolah Serba Sedikit)\r\n

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

"Kapuhunan", Kepercayaan Dinamisme Dalam Masyarakat Etnis Banjar

27 Maret 2012   01:41 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:26 1193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Mendiang ibu dan nenek saya dulu selalu bilang jangan turun atau meninggalkan rumah dulu bila ditawari makan tidak mau, nanti "kapuhunan".

Begitu pun jika kita bertamu ke tempat orang lain, kebetulan di rumah itu sedang makan, dan kita ditawari namun menolak, biasanya kita disuruh mencicipi agar tidak "kapuhunan".

Kata "kapuhunan" ini pasti sangat sering kita dengar di berbagai daerah di Kalimantan Selatan bahkan sampai ke Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur, dimana terdapat juga etnis keturunan Banjar bermukim.

"Kapuhunan", akar katanya dari kata "puhun", yang pengertiannya dalam bahasa Indonesia adalah "pohon". Karena dalam tata bahasa Banjar tak mengenal huruf vokal "O", maka pada kata "pohon" diganti dengan huruf vokal "U".
Kalau dialih bahasakan ke bahasa Indonesia mestinya kata "kapuhunan" itu adalah "ke-pohon-an", karena telah mendapat awalan dan akhiran ke-an.

Secara jelasnya adalah akar kata "puhun" mendapatkan awalan dan akhiran menurut tata bahasa Banjar, yakni awalan ka (tata bahasa Banjar tak mengenal huruf vokal E dan E pepet), serta akhiran an.

Istilah "kapuhunan" yang merujuk kepada pohon ini, merupakan kepercayaan turun temurun yang masih dipegang hingga kini oleh sebagian masyarakat dalam budaya etnis Banjar. Kapuhunan, diperkirakan berasal dari kepercayaan dinamisme, disebut juga dengan nama preanimisme, yang mengajarkan bahwa tiap-tiap benda atau makhluk mempunyai daya dan kekuatan.

Meski etnis Banjar mayoritas memeluk agama Islam, kepercayaan terhadap "kapuhunan" atau kepohonan ini masih belum hilang.
Dulu semasa masih anak-anak, di kampung saya sering melihat ada orang yang menaruh semacam sesaji dibawah pohon besar, atau sesaji ditempatkan di sejenis nampan terbuat dari rotan atau pandan, digantung di dahan pohon. Dan orang-orang yang melewati pohon besar itu pun selalu permisi dengan berkata, "datu, umpat lalu lah anak cucu", artinya; "datuk, anak cucu permisi lewat."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun