Â
Calih 1 : “Sehari jelang Pemilukada kemarin saya dapat Rp 400 ribu. Katanya sih dari Tim Pemenangan Pasangan Calon (Paslon) Anu dan Una.”
Calih 5 : “Kok bisa banyak segitu, saya Cuma dapat Rp 100 ribu. Padahal sama dari Tim Pemenangan Paslon si Anu dan Una itu.” (Dengan muka heran)
Calih 1 : “Ya iyalah, saya kan ada 4 orang di rumah yang bakal milih.” (Sambil ketawa merasa puas bisa memprovokasi)
Calih 5 : “Tak apa-apa. Saya juga dapat dari Tim Pemenangan Paslon Ono dan Ana, lalu dari Paslon Uni dan Inu, juga dari Paslon Atu dan Ata. Pokoknya saya dapat dari kelima Paslon kecuali dari Paslon Iya dan Iyo. Katanya sih Paslon terakhir ini tak bagi-bagi duit.
Calih 1 : “Wah hebat dong bisa dapat banyak. Sayang Paslon Iya dan Iyo itu tak bagi-bagi duit, ya.” (Wajah agak cemberut dan kecewa)
Calih 5 : “Kata Tim Pemenangan Paslon-nya, Pasangan Iya dan Iyo ingin memberikan pelajaran politik kepada warga pemilih.” (sambil ketawa sinis)
Calih 1 : “Ah cuma alasan saja itu, paling-paling memang tak ada duitnya.” (sembari ikut sinis)
Itulah percakapan imajiner antara 2 orang warga pemilih yang dengan jelas mengisyaratkan adanya praktik politik duit pada proses Pemilukada, dan ini bukan rahasia lagi di masyarakat Indonesia saat ini.
Hari ini satu dari Koran Harian yang terbit di Banjarmasin Kalsel, memberitakan adanya satu Paslon di Pemilukada Kabupaten Kotabaru yang akan melakukan tindakan hukum terkait praktik politik uang yang menurutnya dilakukan oleh Paslon lainnya.
Paslon 5 : “Kami tak melakukan praktik politik uang. Kalaupun ada yang menuduh begitu, bisa saja dilakukan oleh Tim Pemenangan kami.”