Mohon tunggu...
Imi Suryaputera™
Imi Suryaputera™ Mohon Tunggu... Administrasi - Jurnalis, Penulis, Blogger

Pria, orang kampung biasa, Pendidikan S-3 (Sekolah Serba Sedikit)\r\n

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Panggil Namaku dengan Gelar Haji

26 Februari 2014   02:20 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:28 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kusapa kenalanku yang baru beberapa hari lalu datang berhaji dari tanah suci Mekah. Kusapa ia dengan menyebut namanya, dengan penuh keakraban seperti biasa sebelum ia berangkat berhaji. Namun betapa aku terkejut dan kecewa, kenalanku itu sama sekali tak menyahut atau membalas sapaanku, bahkan ia melengos membuang mukanya seolah tak mengenalku. Sepanjang jalan menuju rumah berbagai pikiran berkecamuk dalam benakku; apakah ada sesuatu yang salah dalam sapaanku, atau kenalanku itu tak mendengar sapaanku, atau bisa juga mungkin ia pangling terhadap penampilanku. Ah tidak mungkin suara hatiku ! Penampilanku biasa-biasa saja, takmada yang aneh dan tak seronok. Sapaanku juga cukup keras untuk didengar. Juga sapaanku hanya menyebut namanya saja. Masa bodoh, biarlah dia tak menyahut atau membalas sapaanku, toh aku tak menjadi rugi ataupun jatuh sakit.

Perihal sapaanku yang tak berbalas oleh kenalanku yang baru pulang berhaji itu, tak menjadi pikiranku hingga suatu hari aku bertemu dengan seorang teman yang sama-sama kenal dengan kenalanku itu, sebut saja namanya Haji Antik. Sebetulnya aku sudah melupakannya. Temanku ini yang kembali mengingatkanku pada si Haji Antik itu. Temanku pun bercerita ketemu dengan Haji Antik, ia menyapa nama kenalan kami itu dengan embel-embel gelar hajinya. "Aku diajak ke rumahnya, diberi oleh-oleh berupa kurma, kismis, air zam-zam, serta kopiah haji," cerita temanku dengan seru.
"Dia itu sombong sejak pulang berhaji. Ketika ketemu aku sapa dia sama sekali tak membalas," sahutku tanpa ekspresi.

Temanku mulanya heran mendengar ceritaku ketemu Haji Antik. Tapi setelah kuceritakan bahwa aku menyapanya hanya dengan menyebut nama tanpa embel-embel haji, ia pun menjadi paham dan maklum.
"Jelas sajas sapaanmu tak dibalas. Untuk mendapatkan gelar haji mahal, keluar banyak duit," kata temanku.
"Memangnya gelar haji itu bisa dibeli ?" tanyaku dengan nada agak tinggi.
"Bukan begitu. Tapi tak setiap orang bisa mendapatkannya terkecuali memang mampu dan berduit serta mendapat panggilan oleh-Nya," jawab temanku.

Kupikir percuma saja aku berdebat masalah embel-embel atau gelar haji atau hajjah yang otomatis melekat pada tiap orang Islam yang sudah melaksanakan rukun kelima itu. Gelar yang terkait dengan pelaksanaan ibadah ini tampaknya sudah bergeser menjadi sebuah simbol kebanggaan dan status sosial, bukan lagi untuk menyadarkan dan merubah pribadi menjadi lebih baik dalam segala hal. Tak sedikit orang yang dengan bangganya disapa haji ataupun hajjah tapi perilaku tak lebih baik dari seorang penipu. Tak sedikit pula yang sudah berkali-kali berhaji namun tetap saja melakukan korupsi.

Ada seorang kenalanku pula yang berterus terang (belum tentu jujur) mengaku, ketika pergi ke tanah suci untuk tujuan berhaji, ia lebih banyak berada di hotel daripada ikut melaksanakan rukun haji. Ia beralasan macam-macam; tak enak badan, agak sakit ke ke ketua rombongan agar bisa tetap berada di hotel. Kenapa demikian ?
Kenalanku itu pun mengungkapkan perihal dirinya yang tak mengerti dan hapal bacaan-bacaan dan rukun-rukun berhaji. Tapi dia kan bisa mengikuti saja apa yang dikerjakan oleh para anggota jamaah lainnya. Namun jawabannya adalah, "yang penting orang-orang di kampung tahu aku pergi ke Mekah, pulangnya tetap juga dipanggil haji."

Asal menginjakkan kaki di Mekah sama dengan berhaji.
Pantas saja beberapa bekas TKI di Arab Saudi yang pulang kampung di daerahku juga di panggil haji atau hajjah. Tak jarang kudengar begini; "haji Anu Itu kan lebih sepuluh tahun di Mekah menjadi sopir taksi. Kalau hajjah Anu itu cuma sekitar tujuh tahun. Betul mereka tinggal di Arab Saudi sana, tapi apakah mereka memang juga pernah melaksanakan ibadah haji ? Keperluan para TKI itu kan untuk berkerja, yang mana pekerjaan mereka itu mengikat, tak bisa seenaknya saja meninggalkan pekerjaan untuk beberapa waktu cukup lama. Entahlah jika tujuannya kesana untuk pelesiran dan kebetulan sedang waktu pelaksanaan ibadah haji, jadi bisa langsung ikut.

Soal embel-embel atau gelar haji ini memang sudah membudaya di kalangan umat Islam di negeri ini, entahlah di negeri-negeri lain yang juga terdapat penduduk beragama Islam. Namun yang pernah aku baca dari berbagai media, Penyanyi Inggris yang terkenal dengan lagunya Morning has broken, Cat Stevens yang mualaf dengan nama barunya Yusuf Islam; tak dipanggil dengan gelar haji, padahal ia sudah melaksanakan rukun Islam kelima itu. Begitupun tak ada panggilan H. Mohammed Ali (Cassius Clay), H. Malik Abdul Aziz (Mike Tyson), dan banyak lagi pesohor di luar sana yang mualaf dan sudah berhaji.

Embel-embel atau gelar haji atau hajjah ini meskipun yang bersangkutan sudah meninggal tetap saja melekat, hanya saja mendapat gelar tambahan; almarhum haji maupun almarhumah hajjah.
Jika gelar ini dimaksudkan untuk menghormati para mereka yang sudah melaksanakan rukun Islam kelima, mestinya penghormatan pertama dinisbatkan ke Rasul Allah Muhammad SAW, yang dengan demikian tiap umat Islam mesti menyebutnya demikian; Haji Baginda Rasulullah Muhammad SAW. Para sahabat Rasul pun mesti diperlakukan sama; Haji Abubakar Shiddiq, Haji Umar Ibn Khattab, Haji Utsman Ibn Affan, Haji Ali Ibn Abu Thalib, Hajjah Aisyah Binti Haji Abubakar Shiddiq, Hajjah Hafsah Binti Haji zumar Ibn Khattab, Hajjah Fatimah binti Haji Baginda Rasulullah Muhammad SAW, dan seterusnya para sahabat Rasul SAW yang sudah berhaji.

Jika gelar diberikan kepada tiap orang yang sudah mengerjakan rukun Islam kelima, seyogiyanya gelar-gelar juga diberikan kepada yang mengerjakan shalat, misalnya gelarnya "Peshalat" atau apalah namanya dalam sebutan bahasa Arab. Bagi yang berpuasa diberikan gelar misalnya "Shiamer", "Shiamlover", "Shiamaddict", terserah gelarnya dalam bahasa apa saja bila belum ditemukan bahasa Arabnya. Pun gelar "Zakater", "Zakatlover", dan lain-lain yang pengertiannya merujuk kepada orang yang sudah melaksanakan ibadah atau mengeluarkan zakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun