Beberapa hari lalu beberapa teman saya cerita tentang seorang kenalan kami yang terkena kasus pidana penganiayaan. Menurut teman-teman, kenalan kami itu telah dipindahkan dari Rutan Polres ke Lapas sebagai titipan Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Bukan perihal ia dipindahkan itu yang menjadi fokus cerita mereka, tapi kondisi kenalan kami yang jadi pesakitan. Kondisi fisiknya sangat memprihatinkan. "Badannya memar-memar, dan mukanya bengkak, pokoknya bonyok dia," ungkap seorang teman yang mengaku ikut membesuk ke Lapas bersama orangtua dan keluarga kenalan kami itu.
Kok bisa begitu ya pikirku sambil membayangkan kondisi kenalanku itu. Jika dulu masih disebut penjara (Penjera; untuk membuat jera) kupikir masih relevan jika pesakitan disiksa oleh para Sipir. Tapi sejak lama penjara di Indonesia sudah dihapuskan, diganti dengan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) yang dimaksudkan untuk memperbaiki mental para pesakitan agar dapat kembali berlaku baik di masyarakat.
"Kenalan kita itu bukan disiksa oleh para Sipir, tapi disiksa oleh para sesama tahanan di Lapas," ungkap temanku.
Kalau tahanan menyiksa tahanan lainnya, lalu kemana dan apa tugas para Sipir yang mestinya melakukan pembinaan terhadap para tahanan agar berlaku baik; termasuk tidak menyiksa sesamanya. Kalau bukan para Sipir yang menyiksa tahanan itu sendiri, berarti mereka sengaja memberikan peluang dan pura-pura tidak tahu terhadap adanya penyiksaan tahanan oleh tahanan lainnya. Jika kondisinya seperti itu, berarti fungsi Lapas sudah tak sesuai dengan yang diharapkan; tetap saja layaknya penjara. Pantas saja selama ini para terpidana yang sudah bebas dari Lapas kebanyakan bukannya sadar atau menjadi baik setelah kembali ke masyarakat. Ini dikarenakan Lapas telah gagal membina dan mendidik mereka, malahan Lapas sepertinya menjadi semacam lembaga pendidikan dan pengembangan ilmu kejahatan, dimana bisa saja seseorang yang sebelumnya copet akan naik peringkat menjadi maling atau perampok setelah keluar dari Lapas.
Lapas itu kesannya sangat tertutup untuk diketahui oleh umum. Mereka sengaja dan berusaha menutup diri agar apa saja kondisi di Lapas jangan sampai diketahui oleh umum apalagi terekspos oleh media massa. Namun meski demikian informasi tentang kondisi Lapas tetap bisa terekspos keluar dikarenakan cerita dan keterangan dari para Mantan Napi.
Peredaran Narkoba dan Miras di lingkungan Lapas, bukan sekedar isu kosong, sudah banyak tersiar di berbagai media massa. Kemudian adanya fasilitas untuk para terpidana yang berduit, juga bukan lagi rahasia. Apalagi terkait hal-hal seperti para Napi yang memiliki ponsel sehingga setiap saat dapat berkomunikasi dengan siapapun diluar Lapas, sudah biasa. Bahkan terdapat pula Napi yang memiliki dan menyembunyikan senjata tajam di kamar tahanannya.
Aku pribadi tak jarang dikirimi pesan oleh para kenalan yang sedang menjalani hukuman di Lapas; isinya minta diisikan pulsa. Mereka ini sedang terkurung di Lapas, tapi masih dapat berkomunikasi denganku yang berada di luar. Ketika kutanya untuk apa pulsa selain untuk berkomunikasi, mereka menjawab pulsa tersebut bisa dijual ke sesama Napi atau tahanan yang memerlukan, sedangkan uangnya bisa untuk pembeli rokok ataupun makanan dan minuman. Alamak, ini Lapas tak ubahnya seperti rumah kos yang dikhususkan untuk para terpidana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H