Pemilu sudah usai dan berlalu, meski para petugas pelaksana pemungutan suara masih sibuk berkerja melakukan tugasnya hingga seluruh surat suara terkumpul dan terdata. Namun beberapa hari ini celoteh tetangga, teman, kenalan, serta warga masih juga terdengar tentang pemberian duit dari para cara Caleg. Mereka bercerita berapa jumlah yang diperoleh dari para Caleg, pun tak ketinggalan yang bercerita tak dapat apa-apa karena dibohongi sang Caleg. Ada pemilih senang karena berhasil mengambil kesempatan untuk mendapatkan uang dari beberapa Caleg, terdapat pula yang kecewa karena dapat sedikit dan dibohongi. Politik duit atau money politic ? Sudah pasti tak bisa dipungkiri dengan pura-pura tidak tahu.
Kesuksesan beberapa kali pelaksanaan Pemilu di era reformasi ini, tak pelak lagi merupakan kemenangan money politic yang high cost. Disamping sangat banyak menghamburkan duit rakyat untuk penyelenggaraan Pemilu, juga menghamburkan duit para Caleg itu sendiri.
Pemilu yang model begini tak ditemui kala rejim Orde Baru berkuasa. Tak ada orang Parpol yang bagi-bagi sembako dan duit, yang ada Golkar kala itu menebar selebaran melalui pesawat terbang hingga ke pelosok, begitupun Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia. Orang dari Parpol paling-paling membagikan kaos kepada warga, itupun yang paling banyak dipakai adalah kaos berwarna kuning berlogo pohon beringin.
Era reformasi ini jauh mengalami kemunduran dalam pelaksanaan Pemilu dibanding era Orde Baru. Seseorang yang menjadi kader Parpol di era reformasi ini yang ingin maju sebagai Caleg mesti mengukur, menakar dan memperhitungkan isi koceknya. Merogoh kocek banyak dan dalam pun belum tentu menjamin si Caleg pasti terpilih, apalagi yang cuma bermodal pandai omong bertopangkan dengkul.
Seorang tetangga saya yang maju sebagai Caleg mesti merelakan rumahnya dilego sebesar Rp 400 juta buat modal belanja politik menuju kursi legislatif, dan hingga saat ini belum diketahui jumlah perolehan suaranya apakah lulus atau lolos, kasian.
Pemilih Cerdas
Yang saya maksud pemilih cerdas disini bukan pemilih yang menolak praktik money politic. Pemilih cerdas yang memilih berdasarkan pengetahuan rekam jejak (track record) Caleg serta sesuai hati nurani, bukan ini pula yang saya maksud, tapi pemilih cerdas yang dapat membedakan antara besar jumlah lembaran Rp 50 ribuan dengan lembaran Rp 100 ribuan yang ia terima dari Caleg. Semboyan ada uang ada suara terdengar bergema tanpa malu dari tak sedikit pemilih.
Kondisi perpolitikan yang seperti ini jika tetap tak bisa dihilangkan, maka hanya akan menghasilkan para Legislator yang buruk, dan berpeluang besar membodohi dan menipu rakyat.
Akan lebih baik waktu diputar mundur surut ke belakang, mempelajari kembali sistem Pemilu yang digunakan di era Orde Baru. Menggunakan atau memberlakukan sistem nomor urut di Parpol bagi Caleg-nya. Para pemilih tak lagi mencoblos nama Caleg tapi Parpol, yang mana Caleg yang duduk di legislatif adalah yang berada pada nomor teratas dari daftar Parpol-nya, kemudian diikuti yang di bawahnya dan seterusnya sesuai dengan jumlah suara yang diperoleh Parpol. Sistem seperti ini setidaknya bisa mengurangi atau bahkan menghilangkan praktik money politic dalam Pemilu.
Kita sah-sah saja membenci rejim Orde Baru, tapi tak ada salahnya mengambil sesuatu yang baik yang pernah dilakukan rejim tersebut, yakni sistem pemungutan suara pada Pemilu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H