"Enak juga jadi Ulama jaman sekarang," cetus Mat Himpal yang sedang nongkrong minum kopi di kedai Bu Ardi.
"Enaknya apa ?" tanya Tuh Kangkung yang sedang menikmati mie goreng instant.
"Enaknya pada saat menjelang Pemilu, Pilpres, Pilkada, dan Pilkades. Para Calon yang ingin meraih kekuasaan ramai-ramai bertamu dan minta dukungan Ulama," ungkap Mat Himpal.
"Kalau cuma datang bertamu dan minta dukungan saja apa enaknya," sahut Tuh Kangkung mendelik.
"Tentu saja mereka tak sekedar datang bertamu dan minta dukungan saja. Paling tidak bawa gula, kopi, teh, dan sebagainya," ujar Mat Himpal tampak jengkel terhadap tanggapan Tuh Kangkung.
"Kalau cuma bawa itu saja, juga tak ada enaknya," sahut Tuh Kangkung pula acuh.
"Ah kamu, dasar otak telmi, telat mikir. Tentu saja bukan sekedar itu bawaannya, tapi juga bawa 'angpao' sebagai hadiah supaya dapat dukungan," ujar Mat Himpal dengan sangat kesalnya.
Menurut Mat Himpal, memang sudah jadi semacam budaya di negeri ini; merangkul para tokoh agama dan tokoh lainnya yang dianggap kharismatik serta memiliki massa pengikut yang fanatik, yang taat pada titah tokoh tersebut.
"Ulama yang mau 'dibayar' untuk dukung-dukungan seperti itu tak layak memimpin umat," cetus Tuh Kangkung bersemangat.
"Betul, aku setuju pendapatmu. Ulama itu tak perlu ikut urusan politik dan kekuasaan. Tugas Ulama itu mengurus akhlak dan iman umat, bukan menjadikan umat sebagai tameng untuk kepentingan pribadi," tambah Mat Himpal.
"Sudah bukan rahasia; Ulama sekarang kan banyak yang punya label. Ada Ulama yang berlabel merah, kuning, hijau, biru, dan lainnya seperti warna pelangi, atau seperti balon yang warna warni," kata Tuh Kangkung beribarat.