Mohon tunggu...
Imi Suryaputera™
Imi Suryaputera™ Mohon Tunggu... Administrasi - Jurnalis, Penulis, Blogger

Pria, orang kampung biasa, Pendidikan S-3 (Sekolah Serba Sedikit)\r\n

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Adil Itu Adalah Mencabut Subsidi BBM

5 November 2014   01:39 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:37 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika pemerintahan Presiden Jokowi benar-benar menaikkan harga BBM, atau mencabut subsidi BBM, hanya satu kata yang sangat pantas saya ucapkan ke beliau; adil.

Kenapa saya katakan adil ?

Dengan tidak adanya lagi BBM dengan harga yang disubsidi, maka tak ada lagi perbedaan harga. Adil itu adalah jika tak ada perbedaan; yang kaya beli BBM dengan harga industri, yang tidak kaya beli BBM dengan harga subsidi. Itupun jika perbedaan itu sesuai dengan yang dikehendaki. Yang banyak terjadi justru adalah; yang kaya bukannya membeli BBM dengan harga industri, tapi ikut membeli BBM bersubsidi yang diperuntukkan bagi yang tidak kaya, sehingga yang tidak kaya sering kesulitan mendapatkan BBM bersubsidi karena lebih banyak dinikmati oleh para orang kaya.

Perbedaan harga BBM oleh adanya yang bersubsidi ini lah pangkal permasalahan yang telah lama memanjakan rakyat negeri ini. Kebanyakan orang sudah sangat terbiasa dengan harga BBM yang murah tanpa mau mengerti betapa tidak sederhananya proses industri menghasilkan BBM sehingga siap pakai.

Sebagai seorang rakyat di negeri ini saya justru merasakan ketidak adilan dengan adanya BBM bersubsidi. Tidak saja karena saya sering kesulitan mendapatkan BBM bersubsidi di SPBU, sehingga sering kali membeli di penjual eceran yang harganya nyaris mendekati harga BBM industri.

Saya membandingkan kondisi yang saya alami dengan seorang kenalan yang bertempat tinggal jauh dari tempat tinggal saya. Kenalan saya ini berkerja di kota dimana saya berada. Ia punya mobil untuk keperluannya ke tempat berkerja. Setidaknya kenalan saya ini setiap hari membeli BBM sebanyak 20 liter bensin (premium) untuk pulang pergi dari rumah ke tempatnya berkerja. Dan jeleknya lagi, ia menggunakan BBM dengan harga subsidi.

Sedangkan saya, saya cuma memiliki sepeda motor yang sudah butut. Tiap kali mengisi BBM cuma bisa 3 liter premium sudah full tank. Dan 3 liter premium ini bisa saya gunakan untuk beberapa hari. Dan sialnya lagi saya sering membeli BBM di penjual eceran dengan harga per liternya bervariasi; kadang Rp 8.000, tak jarang Rp 9.000, ini karena tiap kali ingin membeli BBM bersubsidi ke SPBU, selain antrian yang cukup panjang dan menyita waktu, juga kalah cepat dari para pembeli lainnya sehingga kehabisan.

Ketidak adilan antara saya dan kenalan saya itu sangat jelas terlihat dan bisa dirasakan oleh siapapun jika memiliki kondisi yang tak jauh berbeda dari saya. Masih untung saya punya sepeda motor yang membutuhkan BBM untuk keperluan transportasi. Bagaimana jika mereka yang tak punya sepeda motor, katakanlah cuma punya sepeda tanpa mesin, atau malah tak punya alat transportasi selain mengandalkan dengkul dan lutut ? Lalu buat apa ada BBM bersubsidi bagi mereka yang tak punya alat transportasi apapun ?

Nah, itu baru contoh kasus antara saya dengan kenalan saya. Kemungkinannya sangat banyak orang yang mengalami seperti saya. Maka, jika harga BBM benar-benar naik, atau subsidi BBM dicabut, artinya saya dan keluarga saya tidak salah memilih Pak Jokowi sebagai Presiden di negeri ini; Pak Jokowi sudah bertindak adil setidaknya menurut pandangan saya yang bukan orang kaya ini.

Kalaupun pemerintah berbelas kasih terhadap rakyatnya memberikan subsidi, harus benar-benar dikaji apakah pemberian subsidi itu akan benar-benar tepat sasaran dan tidak rentan disalah gunakan. Alih-alih ingin membantu rakyat miskin, pada kenyataannya nanti justru tak sedikit yang malah menjual kemiskinan untuk memperkaya diri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun