Heran sama pemerintah daerah Wakatobi ini. Bayangkan saja, sudah dua periode wakatobi dikomandoi Ir.Hugua, belum juga kelihatan sedikitpun tanda-tanda masyarakat sudah terlibat dalam hal pemanfaatan pariwisata. Padahal, kalau dipikir, ujung tombak pembangunan di kabupaten Wakatobi hari ini hanya dua, perikanan dan pariwisata.
Ironisnya, bukannya fokus pembangunan lebih diarahkan untuk memberdayakan masyarakat dalam memanfaatkan segala potensi yg dimiliki daerahnya untuk kemudian dijadikan produk wisata bernilai jual, yang ada justru membuka kran pariwisata selebar-lebarnya untuk para investor menanamkan modalnya ke Wakatobi. Bukan tanpa resiko hal ini dilakukan, justru keberadaan investor dengan logika kapitalismenya hanya akan menjadi predator bagi masyarakat lokal yang ada di Wakatobi.
Investor dengan kekuatan modal akan lebih leluasa memanfaatkan sumber daya pariwisata Wakatobi dengan nyaman dan tanpa hambatan, sebaliknya masyarakat jangankan bersaing, memulai usaha wisata saja sudah sangat sulit, belum cara pengelolaan, belum finansial, ditambah lagi sumber daya manusia yg belum profesional akan menjadikan warga lokal tergeser dalam kompetisi gila-gilaan.
Pemerintah Wakatobi terkesan terlalu gegabah dengan segala tetek bengek konsep pembangunan yg mereka rancang. Seakan-akan, investor adalah angin segar, angin surga yg membawa rejeki nomplok bagi Wakatobi, ternyata pada kenyataannya, rejeki itu hanya dinikmati minoritas elit yg memiliki kedekatan politis dengan kekuasaan, serta minoritas elit yg memiliki kekuatan finansial lebih.
Lihat saja para pemilik resort, para pejabat yg juga memiliki usaha jasa hotel dan penginapan, para saudagar yg dekat dengan kekuasaan dan memiliki usaha jasa rental ini dan itu, sementara masyarakat lokal lainnya yg berada di kelas menengah ekonomi bawah hanya tersenyum kecut menunggu pergantian demi pergantian dengan janji-janji pembangunan padahal kenyataannya nasib mereka tidak pernah berubah.
Potensi pariwisata Wakatobi sangatlah besar. Karang yg indah dengan jenis yg hampir mewakili seluruh jenis karang di dunia, biota laut yg beraneka ragam, keragaman adat istiadat dan khasanah sejarah yg kaya menjadikan Wakatobi benar SURGA NYATA BAWAH LAUT DI PUSAT SEGI TIGA KARANG DUNIA.
Namun, sayang tinggal sayang, surga nyata faktanya bukan untuk kaum mayoritas. Surga nyata sebagai brand pariwisata bukanlah brand pariwisata yang dirancang berbasis komunitas, di mana keterlibatan aktif masyarakat adalah titik pokok-nya, sebaliknya surga nyata bawah laut hanyalah kamuflase yg dibuat untuk meloloskan kerajaan pariwisata kaum konglomerat pemilik resort yg ada di Wakatobi termasuk para pejabat yg memperkaya diri mereka dari pariwisata, sementara masyarakatnya dibiarkan bodoh, miskin, tidak berkembang, terbelakang dan bermental budak.
Lihat saja, bagaimana hutan mangrove ratusan meter di babat habis di Desa Sombano, Kaledupa Selatan hanya untuk menjadikannya bandar udara, sementara jarak tempuh masing pulau dari empat pulau induk di Wakatobi yang dipisahkan lautan hanya perlu 2 jam melalui speed boat dari pulau satu ke masing-masing lainnya.
Di saat rencana pembangunan bandar udara Sombano yg telah mengorbankan ratusan mangrove, di lain sisi ada para nelayan, ada suku Bajau yg bersandar pada keberadaan mangrove. Padahal jika di lihat secara geostrategis, Wakatobi yg terdiri dari 97% laut dan 3% sisanya daratan sangat cocok dengan transportasi laut. Semestinya pemerintah harus lebih jeli melihat hal-hal seperti ini, bukannya malah merencanakan pembangunan yg pada akhirnya kontradiktif satu sama lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H