Mohon tunggu...
Imi Cicilalang
Imi Cicilalang Mohon Tunggu... -

Yang Haus Ilmu dan Pengalaman

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Membentuk Ideologi Jurnalis yang Solutif (Bag. II)

28 Maret 2014   02:30 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:22 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Mungkin semua sepakat, akar kemerosotan dinamika Jurnalistik Masisir adalah minat Masisirnya sendiri terhadap jurnalistik.Jika akarnya sudah rusak, bagaimana pohon tersebut bisa berbuah? Begitu juga dengan dinamika Jurnalistik, jika minat Masisir terhadap Jurnalistik saja tidak ada, bagaimana mengahasilkan karya-karya yang fundamen? Sehingga secara tidak langsung, untuk membuat dinamika Jurnalistik kembali maju, maka minat terhadap jurnalistiknya dulu yang harus kita tanamkan, pelihara dan kita “tularkan” kepada semua orang di sekeliling kita. Mungkin untuk hal ini nasihat KH.Abdullah Gymnastiar bisa kita gunakan, bahwa segala kebaikan harus dimulai dari diri kita sendiri, dari hal yang terkecil dan dilakukan saat ini juga. Artinya,ketika setiap individu –Masisir-semenjak detik ini mampu melaksanakan kegiatan jurnalistik tersebut, meski dengan karya tulis atau pemberitaan yang sederhana, hal tersebut mampu memberikan pengaruh positif terhadap kemajuan dinamika Jurnalistik Masisir.

Pertama, mencintai Jurnalistik. Kita lihat seseorang ketika ia menyatakan cinta pada suatu benda atau seseorang, pasti ia tidak akan pernah meninggalkan apa yang dicintainya tersebut. Ia akan terus berusaha untuk selalu berhubungan dengannya dan berusaha tidak terpisah, walau sekejap. Namun perlu dicatat, setiap pecinta pasti memiliki sebab mengapa ia mencurahkan cintanya, karena bisa jadi sesuatu yang sama dicintai oleh beberapa orang dengansebab yang berbeda-beda. Ada beberapa hal yang mebuat kita mencintai Jurnalistik, di antaranya,


  1. Kegiatan Jurnalistik memiliki kaitan dengan sebuah ayat di dalam Alquran. Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (Al- Hujurat: 6).Ayat tersebut secara tidak langsung, menggambarkan kegiatan yang sering dilakukan dalam dunia Jurnalistik, yaitu salah satunya memperifikasi berita. Dengan kata lain, ketika kita niatkan untuk melaksanakan apa yang ada di dalam Alquran, maka dengan izin Allah pahala dari-Nya lah yang akan membalas amal tersebut. Selain itu, kita pun secara langsung membantu seseorang untuk mengetahui kabar tentang sebuah perkara, apalagi ketika perkara tersebut dibutuhkan dan baik untuknya, tentu ini termasuk amal kebajikan.
  2. Kegiatan Junalistik termasuk memelihara warisan para Nabi dan Ulama klasik. Sejarah mencatat, bahwa kegiatan Jurnalistik sudah muncul semenjak zaman Nabi Nuh As. Di mana ketika Nabi Nuh ingin menjawab pertanyaan umatnya akan keadaan Bumi yang sedang tergenang saat itu, Nabi Nuh As. memerintah burung Dara untuk mengetahui apakah air banjir yang menggenangi bumi sudah surut dan selanjutnya Ia sampaikan kepada umatnya. Termasuk ketika zaman Nabi Sulaiman As. yang mengetahui kabar ratu Balqis melalui kabar yang disampaikan burung Hud-hud dan Nabi Muhammad Saw. dalam menerima wahyu dari Allah Swt dan menyebarkannya kepada seluruh umat. Budaya tersebut terus dipelihara hingga zaman Sahabat dan Tabiin,di antaranya ketika proses kodifikasi Al-Quran dan ilmu hadis. Keduanya tidak terlepas dari kegiatan Jurnalistik, seperti mencari data, mengumpulkannnya, memperefikasinya dan menyebarkannya, sehingga secara langsung Imam Bukhari, Imam Muslim dan imam-imam hadis lainnya termasuk Jurnalis sejati. Maka dari itu, tentunya kita tidak akan meninggalkan kegiatan “mulia” tersebut.
  3. Kegiatan Jurnalistik membuat kita abadi. Sedikit berlebihan, namun kebenarannya memang seperti itu. Setiap karya yang dihasilkan meski hanya tulisan jenis berita, namun karya tersebut akan terus bisa dinikmati untuk satu atay dua tahun ke depan, bahkan lebih. Contoh kongkrit adalah karya-karya buku turats yang tersebar di sekeliling kita. Memang benar penulisnya sudah banyak yang wafat, tapi karena karyanya, kehadiran mereka seakan abadi, seakan masih ada dan masih bisa diajak bercengkerama.


Kedua, membutuhkan Jurnalistik. Jurnalistik menurut penulis bisa disamakan kedudukannya dengan hal lain yang termasuk kebutuhan primer, seperti pakaian dan tempat tinggal, sehingga ketika kita tidak mendapatkan atau terlepas darinya, maka kita akan mendapatkan “kesulitan.”Ada benarnya ketika salah satu kawan dekat saya menganalogikan kegiatan Jurnalistik (red: baca tulis) dengan kegiatan makan dan buang air. Sederhana tapi sangat dalam maknanya.Dengan kata lain, kegiatan Jurnalistik memang tidak bisa kita tinggalkan, seperti napas, manusia tanpanya akan mati! Meski kenyataannya kita tidak mati ketika meninggalkan Jurnalistik, tapi percayalah jika Jurnalistik tidak dilestarikan, maka –minimal- akan memberikan dampak buruk terhadap lingkungan.

Seperti disebutkan sebelumnya, ketika menjalankan kegiatan jurnalistik, maka kita dituntut untuk kritis, sehingga ketika menyajikan sebuah berita atau artikel, kita tidak akan hanya menyajikan hasil yang didapat dari studi lapangan saja, tetapi sikap kritis kita akan menuntun kita untuk mencari kevalidan berita atau isi artikel dengan melalui studi pustaka. Pada akhirnya, Jurnalistik pun akan membuat kita semakin banyak membaca buku (dan lingkungan).

Namun di sisi lain muncul sebuah rasa ketakutan untuk menjalani kegiatan tersebut. “Saya belum berpengalaman” “Saya masih awam” “Saya tidak kuat dengan kegiatan seperti itu” “Saya tidak berani menulis” dan keluh kesah lainnya. Sejatinya, ungkapan seperti itu muncul dari seseorang yang belum faham akan Jurnalistik. Jika faham tentunya ungkapan yang akan muncul adalah ungkapan positif yang dilanjutkan dengan aplikasi yang nyata, karena kegiatan Jurnalistik adalah kegiatan sehari-hari yang tidak jarangkita lakukan, artinya tidak harus memiliki kelebihan atau skill tertentu untuk melakukannya.

Tuliskan apa yang kau pikirkan, bukan pikirkan yang akan kau tulis. Jika rumus jitu tersebut sudah ditanamkan di setiap jiwa individu Masisir, maka kegiatan tulis-menulis pun akan terus abadi, karya-karya fundamental akan terus bermunculan dan tentu akan memberi pengaruh positif terhadap kelestarian dunia jurnalistik di lingkungan Masisir tercinta ini.

Ketiga, melestarikan Jurnalistik. Kata lestari di sini tidak ada kaitannya dengan Bunga Citra Lestari, tetapi lestari disini saya artikan dengan kata abadi. Artinya, ketika kita cinta terhadap Jurnalistik dan memunculkan rasa memiliki atau rasa akan membutuhkan Jurnalistik tersebut, maka terakhir adalah menjaganya agar terus abadi. Media Masisir merupakan contoh nyata yang dekat dengan kita. Jika dikalkulasikan, media Masisir –termasuk kekeluargaan,- baik cetak atau elektronik bisa mencapai 20 media bahkan lebih. Belum lagi dengan buku dan jurnal hasil karya tangan Masisir, seperti HIMMAH, Al-DZIKR, menambah warna-warni eksistensi kegiatan Jurnalistik. Menurut Penulis, hal ini patut disyukuri dengan terus mempertahankannya, karena budaya positif tersebut secara langsung menggambarkan tingkat intelektualitas Masisir.

Meski dinilai lesu atau tidak sebaik dahulu, kita harus tetap semangat melestarikan dengan terus mengembangkannya ke arah yang lebih baik. Jika bukan kita, siapa lagi? Perubahan tidak akan didapatkan dengan hanya duduk di depan komputer dengan aktifitas yang jauh dari pengembangan intelektualitas. Bukan kah Allah telah berfirman, bahwa Dia tidak akan merubah sebuah kaum, kecuali mereka sendiri yang berubah terlebih dahulu. Aktivitas Jurnalistik Masisir tidak semestinya down dengan tulisan-tulisan yang meneriakkan kelesuan dan kebobrokan Jurnalistik Masisir, tanpa berusaha menyajikan solusinya. Karena hal itu hanya membuat suasana menjadi keruh! Namun tetap harus kita apresiasi, karena hal tersebut secara langsung menggambarkan bahwa masih ada sebagian Masisir yang peduli terhadap dinamika Jurnalistik Masisir.

Namun demikian, di sisi lain hal di atas kembali dibenturkan dengan rasa takut untuk melangkah. Banyak dari para Jurnalis Masisir yang takut untuk berkarya. Mereka sudah ditaklukan dengan keadaan Jurnalistik dewasa ini. Mereka terlalu khawatir dengan ungkapan “aktifitas Jurnalistik sekarang berbeda dengan zaman dahulu, kosong!” sehingga mereka memilih untuk diam, tidak melakukan apa-apa. Padahal, apa yang kita rasakan sama dengan apa yang dirasakan oleh senior kita dahulu, aktifitas Jurnalistik Masisir semakin lesu! Dan perasaan itulah yang membuat mereka terus melakukan perubahan kea rah yang lebih baik. Semakin merasa kurang, semakin semangat untuk memperbaiki kualitas, aktifitas Jurnalistik pun akan terus “hangat.”

Rasa takut juga dipicu dengan adanya kemajuan elektronik, yang sering kita dengardengan kata dunia digital.Pemberitaan bisa dilakukan setelah beberapa detik perkara tersebut terjadi, bahkan pemberitaan bisa dilakukan secara langsung, sehingga Jurnalistik yang identik dengan media cetak semakin ditinggalkan.Masyarakat lebih memilih media elektronik untuk dijadikan sarana mengetahui sebuah berita atau kabar tertentu.Apalagi dengan hadirnya jejaring sosial, seperti facebook, tweeter dan lainnya. Adapun cara ampuh untuk menanggulangi permasalahan tersebut adalah dengan memanfaatkannya. Artinya, kita memanfaatkannya untuk menyebarkan media cetak –buletin- yang kita kelola, seperti apa yang dilakukan Koran harian Republika. Selain mereka mencetak versi media cetak, juga menerbitkan dan menyebarkannya malalui internet. Contoh yang paling dekat di sekitar kita adalah apa yang dilakukan Terobosan baru-baru ini.

Sebelum mengakhiri tulisan, penulis mengajak untuk melihat sesuatu dari dua sisi yang berbeda atau positif dan negatifnya, karena kita tidak tahu mana yang baik dan mana yang buruk. Meski perasaan akan lesunya aktifitas Jurnalistik Masisir terus menggebu, tetap hal tersebut tidak boleh “memperkeruh” keadaan kita saat ini, tetapi hal tersebut lebih baik dijadikan motivasi untuk tetap melestarikan aktifitas Jurnalistik, khususnya budaya tulis menulis dan mengembangkannya ke arah yang lebih baik lagi. Semoga tiga poin di atas menjawab semua tanda tanya terhadap keadaan dinamika Jurnalistik di Masisir dewasa ini.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun