Kenaikan biaya hidup global telah menjadi faktor utama yang memperburuk kemiskinan ekstrem di banyak negara, dengan dampak yang semakin terasa bagi kelompok-kelompok yang sudah rentan. Menurut laporan UNDP, krisis ini telah mendorong tambahan 71 juta orang ke dalam kemiskinan ekstrem, suatu kondisi yang ditandai dengan pendapatan di bawah $1,90 per hari. Dampak dari lonjakan harga barang-barang kebutuhan pokok, seperti makanan, energi, dan perumahan, sangat dirasakan oleh masyarakat miskin yang bergantung pada pendapatan harian. Harga pangan yang terus meningkat, misalnya, telah membuat makanan menjadi semakin tidak terjangkau, sementara biaya energi yang tinggi membebani pengeluaran rumah tangga, memaksa banyak orang untuk memilih antara memenuhi kebutuhan dasar atau membayar biaya lainnya.
Situasi ini semakin diperburuk oleh ketidakstabilan ekonomi global yang terjadi akibat krisis kesehatan dan perubahan iklim, serta dampak dari konflik geopolitik yang mengganggu rantai pasokan internasional. Akibatnya, lebih dari 1,7 miliar orang kini hidup di bawah garis kemiskinan $1,90 per hari (Purwanti, 2024). Kelompok-kelompok ini, termasuk petani kecil, pekerja informal, dan buruh migran, terjebak dalam kondisi yang sulit untuk keluar dari kemiskinan karena terbatasnya akses terhadap pendidikan, perawatan kesehatan, dan pekerjaan yang layak. Tanpa dukungan yang memadai, mereka semakin terperosok dalam kemiskinan struktural, yang sulit diatasi meskipun berbagai program bantuan sosial diberlakukan.
Di sisi lain, kelompok kaya lebih mampu mengatasi lonjakan biaya hidup ini, karena mereka memiliki sumber daya yang lebih besar untuk mengalihkan pengeluaran mereka atau berinvestasi dalam solusi yang dapat melindungi mereka dari inflasi. Ketimpangan ini menyebabkan kesenjangan yang semakin lebar antara si kaya dan si miskin. Masyarakat yang lebih kaya dapat mengakses layanan premium dan mempertahankan gaya hidup mereka, sementara mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan semakin terpinggirkan dan terabaikan. Fenomena ini memperburuk ketidaksetaraan sosial yang ada, menciptakan lapisan-lapisan ketidakadilan baru di dalam masyarakat, yang pada akhirnya memperlambat upaya global untuk mencapai pengurangan kemiskinan dan kesetaraan (Smeru, 2023).
Tantangan ini memerlukan perhatian global yang lebih besar, dengan kebijakan yang tidak hanya berfokus pada pemulihan ekonomi, tetapi juga pada pengurangan ketimpangan sosial. Negara-negara harus mengembangkan strategi yang inklusif untuk membantu mereka yang terperangkap dalam kemiskinan ekstrem, dengan meningkatkan akses terhadap pendidikan, perawatan kesehatan, dan peluang ekonomi. Hanya dengan pendekatan yang holistik dan berkelanjutan, dunia dapat berharap untuk mengurangi dampak dari krisis biaya hidup ini dan menciptakan masyarakat yang lebih adil dan setara.
Di Indonesia, garis kemiskinan telah mengalami lonjakan signifikan dalam satu dekade terakhir, meningkat sebesar 92,5%, yang mencerminkan dampak inflasi dan ketidakstabilan ekonomi terhadap daya beli masyarakat. Pada Maret 2024, garis kemiskinan tercatat mencapai Rp 582.932 per kapita per bulan, angka yang lebih tinggi dibandingkan sepuluh tahun sebelumnya. Kenaikan ini menggambarkan betapa cepatnya harga barang-barang kebutuhan pokok seperti makanan, perumahan, dan energi, yang sangat mempengaruhi keluarga-keluarga dengan pendapatan rendah. Meningkatnya biaya hidup ini membuat banyak keluarga, yang sebelumnya berada di batas kemiskinan, kini terperosok dalam kondisi yang lebih sulit. Hal ini juga menunjukkan bahwa meskipun ada upaya peningkatan kesejahteraan sosial, harga-harga yang terus naik menghalangi perbaikan kualitas hidup bagi sebagian besar masyarakat Indonesia.
Pada saat yang sama, jumlah penduduk miskin di Indonesia juga menunjukkan angka yang mengkhawatirkan. Menurut data yang terbaru, pada Maret 2024, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 25,22 juta orang, atau sekitar 9,03% dari total populasi. Meskipun angka ini lebih rendah dibandingkan beberapa tahun lalu, namun jumlah yang sangat besar ini tetap menjadi tantangan serius dalam mengatasi ketimpangan sosial dan ekonomi. Banyak dari mereka yang tergolong miskin hidup di daerah pedesaan atau kawasan perkotaan yang rentan terhadap pengangguran dan ketidakstabilan ekonomi. Faktor-faktor seperti terbatasnya akses terhadap pendidikan yang berkualitas, lapangan pekerjaan yang layak, serta layanan kesehatan yang memadai, semakin memperburuk kondisi mereka dan membatasi peluang untuk keluar dari kemiskinan.
Lonjakan garis kemiskinan dan tingginya jumlah penduduk miskin ini mencerminkan ketimpangan yang semakin parah, di mana sebagian kecil populasi dapat mempertahankan atau bahkan meningkatkan standar hidup mereka, sementara sebagian besar justru terjepit oleh inflasi dan biaya hidup yang semakin tidak terjangkau. Ketimpangan ini tidak hanya menghambat perkembangan ekonomi, tetapi juga memperburuk kesenjangan sosial antara kaya dan miskin, yang pada akhirnya bisa memicu ketidakstabilan sosial. Untuk mengatasi masalah ini, dibutuhkan kebijakan yang lebih terfokus pada pemberdayaan ekonomi masyarakat miskin, seperti peningkatan akses terhadap pendidikan, peningkatan kualitas lapangan pekerjaan, serta kebijakan bantuan sosial yang lebih tepat sasaran, agar mereka dapat mengatasi tantangan ekonomi yang semakin berat ini.
Pemerintah Indonesia perlu merancang kebijakan yang dapat mengatasi akar penyebab kemiskinan, bukan hanya mengurangi dampaknya. Hal ini mencakup reformasi di sektor-sektor kunci seperti pertanian, pendidikan, dan kesehatan, yang menjadi fondasi utama bagi peningkatan kesejahteraan rakyat. Selain itu, perlu ada upaya untuk menurunkan ketergantungan pada barang impor dan menciptakan ketahanan ekonomi domestik, agar masyarakat Indonesia dapat menghadapi gejolak ekonomi global yang seringkali berdampak buruk pada daya beli mereka.
Kenaikan harga pangan dan inflasi memiliki dampak signifikan terhadap kondisi ekonomi dan sosial masyarakat. Kenaikan harga pangan, terutama bahan pokok, meningkatkan beban pengeluaran rumah tangga, terutama bagi kelompok berpenghasilan rendah yang sebagian besar pendapatannya digunakan untuk memenuhi kebutuhan dasar. Di sisi lain, inflasi yang tidak terkendali mengurangi daya beli masyarakat karena nilai uang menurun, sehingga barang dan jasa menjadi semakin sulit dijangkau. Kondisi ini dapat memperburuk ketimpangan sosial, meningkatkan angka kemiskinan, dan menghambat pertumbuhan ekonomi. Selain itu, tekanan inflasi sering kali memengaruhi sektor bisnis, menyebabkan kenaikan biaya produksi dan distribusi yang pada akhirnya diteruskan kepada konsumen. Untuk mengatasi dampak ini, diperlukan kebijakan pemerintah yang efektif, seperti stabilisasi harga pangan, peningkatan produktivitas sektor pertanian, serta pengendalian inflasi melalui instrumen moneter dan fiskal.
KESIMPULAN