Satu berita menarik muncul dari aksi 112 yang digelar Forum Umat Islam (FUI) kala peserta aksi mengawal dan memayungi sepasang pengantin yang akan menikah di gereja Katedral. Aksi itu sendiri diapresiasi oleh banyak pihak, salah satunya adalah Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin. Melalui akun twitternya @lukmansaifuddin, Menag menulis “"Saya sungguh bersyukur, terharu, dan bahagia menyaksikan jemaah aksi 112 yang memberi jalan dan mengawal pasangan pengantin menuju gereja,".
Tapi benarkah itu aksi toleransi yang coba ditunjukkan oleh peserta aksi 112 atau sekadar basa-basi?
Tanpa menafikan fakta bahwa itu benar terjadi, tapi saya masih sangsi bahwa para peserta aksi benar-benar memahami arti toleransi. Berikut beberapa hal yang membuat saya perlu sedikit “mencurigai” bahwa aksi itu tidak untuk mencari simpati :
Pertama, Forum Umat Islam atau dalam hal ini FPI sebagai bagian di dalamnya adalah kelompok yang terang-terangan menolak non Islam sebagai pemimpin di Jakarta. Padahal jelas-jelas, agama bukan kriteria menjadi pemimpin di negeri yang berasaskan Pancasila ini. Tapi, Pilkada DKI Jakarta semakin memantapkan citra FPI sebagai organisasi yang anti keberagaman. Tengoklah banyak berita yang bertebaran bahwa FPI menggalang kekuatan massa untuk menolak Ahok sebagai gubernur karena dia bukan muslim. Meski kemudian ada klarifikasi bahwa penolakan bukan didasarkan karena agama Ahok tapi karena kelakuan dan mulutnya yang dinilai FPI masuk dalam kategori kasar.
Gerakan penolakan pemimpin non muslim ini sangat massif dan begitu terasa dalam Pilkada ini. Gaung penolakan disuarakan di mimbar-mimbar keagamaan dengan beragam dalil yang disampaikan. Meski banyak ulama yang juga memiliki pendapat berbeda mengenai kriteria pemimpin, FPI pantang mundur dengan pendapatnya yang sungguh kental unsur politik.
Ketiga, FPI adalah organisasi yang membantah menurunkan anggotanya untuk menjaga keamanan gereja saat Natal. Disaat Nahdlatul Ulama menurunkan anggota Barisan Ansor Serbaguna (Banser) untuk membantu polisi mengamankan situasi malam natal, FPI justru membantah berita soal aksi membantu tugas pengamanan. Bahkan dalam situs resminya, DPP FPI bahkan menegaskan: “FPI menolak keras pelibatan umat Islam dalam perayaan Natal dan Tahun Baru dalam bentuk apa pun, termasuk PENGAMANAN dan PENGAWALAN, serta mengecam keras anjuran/pemaksaan pemakaian Atribut Natal kepada masyarakat/pegawai Muslim di instansi mana pun. Namun FPI tetap sepenuhnya mendukung Polri untuk menjaga keamanan dan ketertiban baik dalam suasana Natal dan Tahun Baru maupun tidak.” (http://www.salam-online.com).
Dengan sejarah yang demikian, apakah wajar jika perlu mempertanyakan ada apa dibelakang aksi mengawal pasangan calon pengantin itu ? Apakah ini upaya untuk membangun citra sebagai organisasi toleran ditengah banyaknya gempuran terhadap FPI, termasuk ancaman hukum terhadap pimpinannya, Riziq Shihab?
Semua itu hanya FPI yang bisa menjawab. Hanya memang perlu disyukuri bahwa aksi yang memang tidak direstui oleh Polri karena berpotensi mengundang kericuhan ini akhirnya berjalan damai. Itu saja. Selebihnya, kita lihat saja aksi FPI berikutnya, terlebih setelah hasil Pilkada DKI Jakarta diumumkan. Lagipula sebenarnya, pasangan pengantin itu tidak perlu sampai dikawal kalau saja FPI tidak menggelar aksinya di Istiqlal. Karena mereka menutup jalan, pantas saja jika akses pasangan pengantin itu terhambat dan mereka sampai harus berjalan kaki. FPI oh FPI, kalian memang menggemaskan.