Cerita Pak Ratip
Bau harum menguar ketika tangan renta Mbah Painah mengaduk aduk genangan nira yang bergolak dalam wajan besar. Harumnya mengingatkan saya dengan aroma kue bolu yang baru dikeluarkan dari oven, manis. Sore itu, Mbah harus mengolah dua liter nira yang baru saja dipanen dari pohonnya oleh Pak Ratip, anaknya. Tidak boleh ditunda, begitu diambil dari pohonnya, nira harus segera diolah agar menghasilkan gula semut yang kualitasnya bagus. “Kalau ditunda nanti malah berubah jadi tuak, “ begitu penjelasan dari Pak Ratip.
Memanjat pohon kelapa yang tingginya berkisar 20 – 30 meter sudah menjadi kesehariannya. “Kalau hujan ya saya tetap manjat, kalau ga diambil nanti niranya mubazir, ga kepake,”, katanya. Meski pekerjaan menyadap nira, atau yang lebih dikenal sebagai penderes, ini beresiko namun bagi Pak Ratip jauh lebih menghasilkan dibandingkan menjadi buruh di luar desa.
“Ga enak jauh dari keluarga, mbak”, katanya sambal memasukkan laru ke dalam bumbung bambu yang akan dibawanya naik ke pohon kelapa. Laru ini adalah cairan pengawet yang dibuat dari air kapur dan kulit manggis. Dalam tiap pongkor, biasanya diisi cairan laru sebanyak 5 ml.
Pak Ratip sendiri baru beberapa tahun menekuni profesi pengrajin gula semut disamping profesi penderes yang telah dijalaninya bertahun-tahun sebelum merantau ke kota lain. Gula semut ini hanya dapat dihasilkan dari air nira yang berkualitas baik. Cirinya, seperti dijelaskan oleh Pak Ratip, rasanya manis, berbau harum, tidak berwarna (bening) dan tingkat keasamannnya (PH) berkisar 6 – 7. Jika nira yang dihasilkan tidak berkualitas maka digunakan untuk membuat gula batok, yang harganya jelas lebih rendah dari gula semut.
Pak Ratip adalah satu dari sekian penderes yang telah mendapat pencerahan untuk mengolah hasil alam yang ada didesanya untuk memperbaiki kondisi perekonomian. Jika sebelumnya nira hasil sadapan diolah seadanya, maka setelah mendapat pendampingan dari satu koperasi yakni KSU Jatirogo, Pak Ratip dan sejawatnya mulai memahami bagaimana proses pengolahan nira hingga menjadi produk gula semut berkualitas tinggi untuk konsumsi pasar luar negeri.
Sertifikasi organik ini yang harus diurus oleh KSU Jatirogo sebagai induk dari ribuan penderes di Kulon Progo. “Kisarannya 100 juta lebih untuk bisa mendapat sertifikasi, dan kita harus mengurus sertifikasi dari berbagai lembaga sesuai dengan permintaan dari buyer (pembeli)”, demikian penjelasan dari manajer KSU saat saya temui di kantornya ketika membeli produk gula yang diproses di KSU.