Mohon tunggu...
Siti Masriyah Ambara
Siti Masriyah Ambara Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pemimpi dengan banyak keterbatasan

Perempuan pekerja lepas yang mencintai Indonesia dengan segala dinamikanya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Di Balik Tingginya Harga Gula Semut Organik

15 Juli 2016   13:38 Diperbarui: 15 Juli 2016   14:23 1922
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
memanjat seusai hujan (sumber : dokpri)

Cerita Pak Ratip

Bau harum menguar ketika tangan renta Mbah Painah mengaduk aduk genangan nira yang bergolak dalam wajan besar. Harumnya mengingatkan saya dengan aroma kue bolu yang baru dikeluarkan dari oven, manis. Sore itu, Mbah harus mengolah dua liter nira yang baru saja dipanen dari pohonnya oleh Pak Ratip, anaknya. Tidak boleh ditunda, begitu diambil dari pohonnya, nira harus segera diolah agar menghasilkan gula semut yang kualitasnya bagus. “Kalau ditunda nanti malah berubah jadi tuak, “ begitu penjelasan dari Pak Ratip.

memanjat seusai hujan (sumber : dokpri)
memanjat seusai hujan (sumber : dokpri)
Keseharian Pak Ratip, mantan buruh serabutan di Ibukota yang akhirnya kembali menekuni profesi penderes nira, yang saya ikuti ketika mengunjungi desa Hargotirto di Kabupaten Kulonprogo. Jadwal hidupnya sudah tertata, pagi sekitar pukul 5 hingga pukul 9 adalah jadwal penyadapan nira yang pertama. Kali kedua harus mengambil nira adalah pukul 4 sore hingga jam 7 malam. 

Memanjat pohon kelapa yang tingginya berkisar 20 – 30 meter sudah menjadi kesehariannya. “Kalau hujan ya saya tetap manjat, kalau ga diambil nanti niranya mubazir, ga kepake,”, katanya. Meski pekerjaan menyadap nira, atau yang lebih dikenal sebagai penderes, ini beresiko namun bagi Pak Ratip jauh lebih menghasilkan dibandingkan menjadi buruh di luar desa. 

“Ga enak jauh dari keluarga, mbak”, katanya sambal memasukkan laru ke dalam bumbung bambu yang akan dibawanya naik ke pohon kelapa. Laru ini adalah cairan pengawet yang dibuat dari air kapur dan kulit manggis. Dalam tiap pongkor, biasanya diisi cairan laru sebanyak 5 ml.

pongkor berisi nira (sumber : dokpri)
pongkor berisi nira (sumber : dokpri)
Berbekal golok dan laru inilah tiap harinya Pak Ratip memanjat lebih dari 10 batang pohon kelapa, menyadap cairan bening yang keluar dari bunga kelapa yang pucuknya belum terbuka atau lebih dikenal sebagai air nira. Literan air nira ini yang kemudian diolah oleh istri dan ibunya untuk menjadi gula semut, komoditi yang saat ini menjadi unggulan pemerintah kabupaten Kulon Progo. 

Pak Ratip sendiri baru beberapa tahun menekuni profesi pengrajin gula semut disamping profesi penderes yang telah dijalaninya bertahun-tahun sebelum merantau ke kota lain. Gula semut ini hanya dapat dihasilkan dari air nira yang berkualitas baik. Cirinya, seperti dijelaskan oleh Pak Ratip, rasanya manis, berbau harum, tidak berwarna (bening) dan tingkat keasamannnya (PH) berkisar 6 – 7. Jika nira yang dihasilkan tidak berkualitas maka digunakan untuk membuat gula batok, yang harganya jelas lebih rendah dari gula semut.

Mengambil Nira - Dok. Pribadi
Mengambil Nira - Dok. Pribadi
Kok mahal sih harga gulanya?

Pak Ratip adalah satu dari sekian penderes yang telah mendapat pencerahan untuk mengolah hasil alam yang ada didesanya untuk memperbaiki kondisi perekonomian. Jika sebelumnya nira hasil sadapan diolah seadanya, maka setelah mendapat pendampingan dari satu koperasi yakni KSU Jatirogo, Pak Ratip dan sejawatnya mulai memahami bagaimana proses pengolahan nira hingga menjadi produk gula semut berkualitas tinggi untuk konsumsi pasar luar negeri.

Proses Pengayakan Gula | Dok. Pribadi
Proses Pengayakan Gula | Dok. Pribadi
Menengok langsung proses pembuatan gula semut, yang sebagian besar hasilnya dilempar ke pasar luar, membuat saya memahami mengapa harga produk ini membumbung tinggi. Bandingkan dengan harga gula pasir yang dipasaran saat ini berkisar 16 – 17 ribu rupiah. Untuk membawa pulang satu kilogram gula semut organik, kita harus mengeluarkan kocek sebesar 60 ribu rupiah. “Harganya memang mahal, mbak, karena kan prosesnya panjang tidak seperti gula batok yang setelah dimasak bisa langsung dicetak. Gula semutkan harus diguser (dihaluskan dengan batok kelapa), disaring, dioven hingga kadar airnya berkisar 2- 4 persen,” Jelas Pak Rahmadi, pengepul gula semut yang diproduksi oleh penderes dan pengrajin seperti Pak Ratip dan lainnya. Yang membuat biaya tinggi juga karena mahalnya ongkos untuk mendapat sertifikat organik yang menjadi syarat ekspor ini. 

Sertifikasi organik ini yang harus diurus oleh KSU Jatirogo sebagai induk dari ribuan penderes di Kulon Progo. “Kisarannya 100 juta lebih untuk bisa mendapat sertifikasi, dan kita harus mengurus sertifikasi dari berbagai lembaga sesuai dengan permintaan dari buyer (pembeli)”, demikian penjelasan dari manajer KSU saat saya temui di kantornya ketika membeli produk gula yang diproses di KSU.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun