Mohon tunggu...
Imaz Mustika
Imaz Mustika Mohon Tunggu... Guru - Menulislah, agar tidak lupa dan tidak dilupakan.

A simple mother with a great dream.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Misteri Gedung Tua

11 September 2018   12:22 Diperbarui: 11 September 2018   12:30 508
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku mengambil kantong kresek berisi kue yang ikut terjatuh, lalu dengan susah payah bangkit kembali. "Huuuuhuuuhuuu...huuuhuuuu...tolooong...tolooong...hhuuuhuu." Sayup -- sayup suara tangisan beradu dengan suara gemericik hujan. Kupasang telinga baik - baik, untuk memastikan apakah yang kudengar ini suara hujan atau suara perempuan menangis? 

Dan memang tidak salah lagi, suara tangisan itu semakin terdengar jelas. Rasa takutku hilang, naluriku sebagai orang yang berjiwa sosial tinggi menggiring langkahku menuju arah suara. Dengan basah kuyup, kuseret langkah perlahan, suara tangisan itu persis dari arah bangunan tua. Tapi, pintu bangunan itu kelihatannya terkunci kuat. Sementara suara tangisan semakin jelas terdengar.

 Aku memberanikan diri menggedor -- gedor pintu sekuat tenaga. "Siapa di dalam ... .? Tak ada jawaban. Suara tangisan masih terdengar walau suaranya tidak sekeras tadi. Aku berpikir, mungkin saja telah terjadi kejahatan di dalam sana yang tak boleh kubiarkan. Kuulangi lagi menggedor pintu, lalu dengan sekuat tenaga mendorongnya.

 "Halooo ..., siapa di dalam.?". "Kraakk..." pintu itu akhirnya dapat dibuka paksa. Suasana di dalam gedung sangat gelap. Aku berusaha memanggil -- manggil orang yang berada di dalam. Penganiayaan itu bisa saja telah benar-benar terjadi. Dan aku harus menolongnya. Tapi masalahnya, aku tak dapat memasuki gedung dalam keadaan gelap begini. Ketika aku mematung dalam kebingungan, tiba -- tiba suara rintihan meleburkan lamunanku. Dengan keberanian tingkat tinggi aku masuk menerobos kegelapan. Dan "Bbukk..." aku menubruk benda keras, lalu terguling di lantai. "Aduuhh... ," jeritku kesakitan. Dengan susah payah aku bangkit. 

Meraba -- raba benda yang aku tubruk tadi, ternyata sebuah kursi goyang. "Degghh..., apa ini, yang tak sengaja kuraba seperti benang menjuntai panjang?." Setelah agak lama aku memegangnya, aku yakin itu adalah rambut, ya... rambut. "Kalau rambut berarti ada kepalanya, tapi sebelah mana?." Aku terus meraba rambut yang menjuntai itu hingga ke atas. "Aaaaaww...tidaaaak." Mulutku tercekat. Aku berhasil meraba bagian kepalanya tapi itu bukan kepala, lebih persisnya tengkorak. Jantungku berdegup kencang. "Aku harus segera keluar dari tempat ini, bahaya." Baru saja aku bangkit dan menyiapkan tenaga untuk keluar dari situ.

 Aku bisa merasakan seseorang dengan sangat cepat menuju ke arahku. Dalam ketakutan aku memberanikan diri bertanya "siapa itu?" Tak ada jawaban.  Aku berdiri, mengarahkan pandangan ke setiap penjuru, tapi tetap saja seperti tadi, semuanya gelap. Tiba -- tiba "Aawwkkk... ." Dari arah belakang seseorang mencekikku. Dengan sekuat tenaga aku berontak, tapi sia -- sia saja, tenaganya begitu kuat. Orang itu mendorongku dengan keras hingga aku jatuh tersungkur. 

Dengan kedua tangannya dia membalikan badanku. Sekuat tenaga aku menjuruskan tendanganku ke arah selangkangannya. "Aduh... ." Dia mengaduh dengan suara serak. Jantungku seakan berhenti berdegup. "Hah...? Suara serak itu, sepertinya aku mengenal suara itu. "Hei siapa kamu, awas saja berani macam -- macam, suamiku akan menembak kepalamu hingga pecah." Aku mengancamnya. "Aargh... ." Suara seraknya terdengar lagi, rupanya ia berusaha berdiri dalam kesakitan. Aku benar -- benar dalam bahaya. 

Aku harus secepatnya keluar dari sini, kalau tidak, aku akan mati dan menjadi tengkorak seperti yang kutemukan tadi. Aku dengan cepat berdiri, kaki kiriku berhasil diraih oleh orang itu, dengan spontan kaki kananku kuayunkan dan "adaww... ," teriaknya. Aku tak melewatkan kesempatan, ketika ia sedang kesakitan, aku berlari sekuatnya. Untungnya aku masih hapal jalan masuk tadi. Dan aku berhasil menemukan pintu keluar.  Aku mendorongnya dengan segenap tenaga yang tersisa dan Alhamdulillah aku bisa keluar dari bangunan yang menyeramkan itu. Aku tertatih -- tatih menembus kegelapan menjauh.

                                          ***

Ketika membuka mata, bau kolonye merebak penciumanku. Di samping kiri dan kanan suami dan anak -- anakku menatap dengan penuh khawatir. "Alhamdulillah mama sudah siuman." Semua serempak mengucap hamdallah. Menurut suamiku, aku ditemukan warga dalam keadaan pingsan tak jauh daru gedung tua. Aku memejamkan mata, mengucap syukur kepada yang maha kuasa. "Terima kasih ya Alloh, Engkau telah menyelamatkanku," ucapku lirih.

Suatu sore, ditemani gemericik hujan. Kunikmati secangkir teh manis dan sepiring ulen goreng (kudapan berbahan ketan). Ketika sebuah televisi swasta menayangkan penangkapan seorang laki -- laki yang menjadi tersangka pembunuhan beberapa perempuan di sebuah gedung tua, ditempat aku ditemukan pingsan. Beberapa mayat dikeluarkan dari banguan itu. Dan beberapa diantaranya sudah menjadi tengkorak. Dengan seksama aku melihat berita itu tanpa berkedip. Seorang laki -- laki membelakangi layar, dengan tangan diborgol. "Sakit jiwa," desisku geram, sambil mengepalkan tangan. Saat penyiar membalikan tubuh sang tersangka untuk sesi wawancara "Degghh... ." Jantungku serasa mau copot. Aku kenal orang itu, ya...tidak salah lagi. Dia si tukang ojek berjubah hitam.

Hujan masih terus mengguyur kampungku dan suasana kian mencekam. Selesai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun