Mohon tunggu...
Imas Siti Liawati
Imas Siti Liawati Mohon Tunggu... profesional -

Kunjungi karya saya lainnya di www.licasimira.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Untungnya Ada BPJS

19 Juni 2016   03:31 Diperbarui: 19 Juni 2016   08:37 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar diambil dari www.kompasiana.com/kompasian

Sakit itu mahal. Siapapun orang tak ada yang menginginkan sakit. Apalagi hidup di negara ini. Biaya berobat jelas menjadi momok bagi kebanyakan orang. Termasuk saya yang sempat mengalami kondisi fisik yang menurun di akhir tahun 2014. Bolak balik rumah sakit, konsultasi dokter, biaya obat serta perawatan membutuhkan uang yang tak sedikit. Saya sempat stress di awal memikirkan berapa banyak biaya yang harus dikeluarkan. Satu hal yang saya syukuri adalah  sudah terdaftar menjadi peserta BPJS Kesehatan saat itu sehingga untuk masalah biaya pun tertangani. Saya bukan berasal dari keluarga berada, jadi konsep sakit itu mahal juga menjadi beban pikiran tersendiri.

Pro dan Kontra serta Pengalaman

BPJS Kesehatan yang digagas pemerintah memang menimbulkan pro dan kontra dalam masyarakat. Banyak yang merasakan manfaatnya, namun tak sedikit pula yang mengeluhkan pelayanan BPJS Kesehatan. Antrian panjang juga pengalaman banyak pasien yang dianaktirikan saat berobat menjadi hal yang paling sering dikeluhkan. Perlakuan perawat, dokter, birokrasi puskesmas atau rumah sakit menjadi penyebab terbesar. Tak jarang pasien harus menghadapi wajah-wajah jutek nan galak karena merupakan peserta layanan BPJS.

Sedikit berbagi pengalaman saat masih sering bolak-balik ke Rumah Sakit adalah banyaknya keluhan pasien perihal kamar inap. Membludaknya pasien berakibat pada adanya antrian untuk menunggu kamar sesuai kelas. Biasanya seperti ini untuk pasien yang memang darurat, ditempatkan di kamar yang ada dulu baru kemudian dipindahkan sesuai kelas. Tapi untuk pasien-pasien non darurat masuk list daftar antrian. Seharusnya sih seperti itu tapi nyatanya tidak juga. Selalu ada kongkalikong pihak dalam. Saya pernah dirawat, dan ranjang sebelah saya kosong. Tanpa saya ketahui, malam itu ada tetangga saya masuk rumah sakit yang sama. Karena keterangan pihak rumah sakit yang mengatakan kamar untuk kelas satu kosong, tetangga saya pun akhirnya naik kelas VIP. Besoknya Ibu saya tanpa sengaja bertemu dengan keluarga tetangga saya dan kita dibuat bingung. Sebelah kamar saya sudah kosong dari kemarin siang, aneh rasanya jika pihak rumah sakit mengatakan tak ada kamar kosong.

Dari berbagai lini masa yang beredar, keluhan tak hanya dari pasien tetapi juga datang dari para dokter yang merasa dibayar terlalu kecil. Jumlah pasien yang meningkat memang tak sebanding dengan jasa yang mereka berikan. Saya akui memang, setiap konsultasi ke dokter akan ada antrian yang cukup panjang yang sejujurnya membuat frustasi. Pasien bahkan harus bertahan berjam-jam untuk menemui sang dokter.

Inilah yang kemudian seharusnya menjadi perhatian serius BPJS juga pemerintah. Perlunya perbaikan kualitas pelayanan kesehatan mencakup secara keseluruhan termasuk soal sumber daya manusia. Jadi peserta BPJS tak sia-sia membayar premi tiap bulan. Kembali lagi, tak ada seorang pun menginginkan sakit bukan?

Berbicara keluhan tak lengkap rasanya tak bercerita tentang manfaat layanan BPJS yang juga dirasakan banyak orang. Ketika sakit, saya sempat dipertemukan banyak orang. Satu diantaranya seorang yang tinggal di Kotabumi, Lampung Utara. Beliau mengidap penyakit gagal ginjal yang mengharuskan ia cuci darah seminggu sekali. Biaya cuci darah itu tidak sedikit, mahal bro…

Sedangkan dirinya hanya seorang janda yang mengandalkan anaknya yang bekerja sebagai satpam. Tak pelak rasa syukur terucap di dirinya karena adanya BPJS.

Seorang ibu lain yang tinggal di daerah Tataan, Pesawaran menderita kanker payudara yang membuatnya harus menjalani kemoterapi setiap 3 minggu sekali. Saya sempat dibuat bengong dengan rincian biaya yang harus dibayar setiap ia menjalani kemoterapi. Nominal angkanya menembus puluhan juta. 20juta sampai 50an juta (tergantung obat yang digunakan). Wow fantastik ya…

Bayangkan berapa yang harus ia bayar dengan menjalani 8x kemoterapi. Sungguh bukan uang yang sedikit mengingat dirinya hanya seorang Ibu Rumah Tangga dengan suami yang hanya seorang karyawan biasa.

Sejujurnya masih banyak lagi pasien yang saya temui disela-sela jadwal konsultasi ke dokter atau check-up mingguan yang harus saya lakoni saat itu. Berbagai penyakit dan keluhan, tetapi satu kalimat seragam yang selalu terucap dari bibir mereka adalah, untung ya ada BPJS sekarang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun