“Makan, Pak!”
“Nanti, Bu.”
“Kok nanti?”
“Masih kenyang.”
“Masih kenyang? Bapak makan dimana tadi?”
Perasaanku tiba-tiba menjadi tak enak. Aku baru saja hendak membuka mulut menjawab pertanyaan istriku, ketika suara istriku kembali terdengar.
“Hem, gitu ya Bapak udah nggak mau makan masakan ibu. Masakan ibu udah nggak enak ya, Pak. Ck, gimana mau enak kalau bapak ngasih uang belanja sedikit. Apa-apa sekarang mahal, Pak. Ibu itu harus pintar-pintar ngatur biar kita bisa makan.”
“Bapak juga sih kebanyakan nganggur di rumah. Kerja toh, Pak. Cari duit yang banyak!”
Deg.
Hatiku terasa sakit mendengar kata-kata yang diucapkan istriku. Jelas apa yang dia katakannya sangat menyakitkan. Aku bukan lelaki pengangguran seperti yang dituduhkan. Aku masih bertanggungjawab penuh dalam menafkahi keluarga. Memang penghasilanku saat ini tak seperti dulu, tapi toh sebenarnya masih mencukupi kebutuhan kami sekeluarga.
Perkenalkan namaku Rasyid. Aku merupakan seorang suami dan ayah dua orang anak yang sudah beranjak dewasa. Enam bulan lalu, aku mengalami PHK. Usia serta ijazah yang hanya lulus SMA tak bisa membuatku diterima bekerja di perusahaan lain. Aku kalah saing dengan para pemuda yang usianya jauh lebih muda dan pendidikan lebih tinggi. Sejujurnya di awal uang pesangon dari perusahaan kubuat untuk modal usaha membuka warung kelontong di depan rumah. Sayangnya untung yang dihasilkan tak seberapa. Kebutuhan hidup yang semakin membesar, membuat modal ikut terpakai sehingga aku harus tetap mencari pekerjaan lain untuk mencukupi kebutuhan keluarga.