Mohon tunggu...
Imas Siti Liawati
Imas Siti Liawati Mohon Tunggu... profesional -

Kunjungi karya saya lainnya di www.licasimira.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hardiknas dan Dunia Pendidikan Kini

2 Mei 2016   07:38 Diperbarui: 2 Mei 2016   07:42 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bertahun- tahun berada di lingkaran orang- orang yang berkecimpung di dunia pendidikan, membuat saya sadar jika pendidikan di negeri ini jauh dari kata baik. Kurikulum yang berubah memang terlihat lebih baik tetapi tidak dengan pendidikan yang sebenarnya. Terutama dunia pendidikan di daerah- daerah.

Masyarakat ibukota atau perkotaan lainnya mungkin bisa berbangga hati karena banyak muncul sekolah- sekolah yang mempunyai standar tinggi dalam pengajaran. Kemampuan guru terbaik serta kelengkapan sarana dan prasarana yang mendukung. Meskipun harus membayar mahal untuk biaya masuk, bukan menjadi penghalang. Karena setiap orangtua memang menginginkan yang terbaik bagi anak- anaknya. 

Nyaris setahun kembali ke daerah justru saya hanya bisa menggeleng melihat potret pendidikan yang sebenarnya. Masih banyak permasalahan- permasalahan yang menggerogoti pendidikan, khusus di daerah yang jauh dari pantauan pemerintah pusat.

Hal yang paling menjadi perhatian serius adalah kemampuan guru dalam mengajar. Bukan mau meremehkan, tapi saya sangsi dengan cara mengajar guru yang baru saja lulus SMA. Bukan apa- apa, saya dan banyak para mahasiswa lulusan FKIP yang menerima mata kuliah metode pengajaran saja belum tentu memiliki skill baik dalam menjelaskan suatu materi. Serius! Ngajar itu nggak gampang. Kalau cuma menyampaikan saja sih mudah, tapi bagaimana cara penyampaian materi dipahami dan dimengerti oleh murid. Di beberapa sekolah, entah karena apa masih menerima guru honor dari lulusan sekolah menengah. Tuntutan gelar sarjana akan mudah didapatkan hanya dengan kuliah jarak jauh atau kuliah seminggu sekali.

Saya tahu nggak semua seperti itu, tapi tetap saja saya hanya bisa mengeleng bingung jika mendapati kenyataan ini. Apalagi sekarang sejak guru banyak mendapat sertifikasi serta tunjangan lainnya, banyak orang berbondong- bondong memilih profesi guru. Praktek kolusi nepotisme dengan kepala sekolah, sudah jangan ditanyakan. Saya ingat status teman saya dulu, dia marah dan mengundurkan diri dari dunia pendidikan (aka. nggak mau ngajar lagi) karena seorang rekannya yang belum lama honor sudah mendapat NUPTK, padahal dirinya yang jauh lebih lama mengajar di sekolah tersebut kesulitan mendapatkannya. Usut punya usut ternyata ada kerja kepala sekolah dibaliknya. Maklum, saudara!

Sebulan lalu saya sempat mengobrol dengan seorang sahabat yang mengajar di daerah yang cukup jauh dari hingar bingar kota. Nggak terpencil ya, tapi lumayan rada sepi lah. Dia mengeluhkan tentang pendidikan sekarang. Nggak kayak zaman dulu lah, katanya. Menurutnya guru sekarang lebih pusing memikirkan kapan menerima gaji/sertifikasi/honor ketimbang membahas siswa. Sejujurnya saya tertawa miris saat itu. Nggak menampik. Memang kenyataannya seperti itu. Harga kebutuhan yang semakin mahal memang menjadi masalah sendiri untuk keberlangsungan hidup para guru. Mungkin beruntung untuk para guru yang sudah mendapat tunjangan sertifikasi, bagaimana dengan para honorer yang hanya dibayar tiga bulan sekali. Nggak kaget kan kalau banyak lulusan FKIP yang lebih memilih menerima tawaran mengajar di sekolah swasta dengan gaji yang cukup. Hehehe,,, hidup realistis. Kebutuhan banyak dan mahal.

Tapi juga kalau dilihat- lihat guru- guru yang menerima sertifikasi juga nggak selamanya enak. Potongannya dari pihak- pihak terkait itu loh. Belum lagi gaya hidup hedon bangsa ini. Jadi nggak kaget juga kalau menemukan banyak guru memberikan les di luar jam sekolah dengan harga yang lumayanlah. Jadi yang kasihan siapa kalau gini?

Pendidikan yang baik butuh kerjasama antara orang tua dan guru. Tapi lagi- lagi kenyataan yang banyak terjadi, orangtua lepas tangan. Pendidikan sepenuhnya diserahkan guru. Bahkan banyak orangtua tak mepermasalahkan berapa biaya yang dikeluarkan. Saya sempat frustasi ketika menemukan anak tetangga yang sudah mau kelas tiga masih kesulitan membaca dan menulis. Tidak menyalahkan guru karena memang jumlah muridnya cukup banyak, dan kecenderungan memilih anak- anak pintar di kelas memang masih banyak dianut oleh para guru. Seharusnya orangtua yang mempunyai waktu lebih lama lah yang berperan di sini. Tapi ya tadi kesibukan menjadi alasan. Padahal sejujurnya setelah rutin setiap hari saya ajar, tak butuh lama juga kemampuan anak tersebut meningkat. Jadi balik lagi kan peran orangtua itu penting. Oh ya ingatkan juga dengan moral anak/siswa yang kini tengah banyak dikeluhkan. Pergaulan bebas, seks  di luar nikah, narkoba, alkohol, rokok, tawuran pelajar dan sederet masalah sosial yang ditimbulkan oleh mereka. Pendidikan tentunya tidak sebatas materi pelajaran yang diterima tetapi juga norma- norma serta aturan yang ada di masyarakat. Lagi- lagi kalau soal begini balik lagi, butuh kerjasama antara orang tua dan guru kan?

Well, mungkin masih banyak lagi sederet permasalahan yang masih menghantui dunia pendidikan kita. Tapi terlepas dari itu, kita juga harus bangga dengan prestasi- prestasi yang ditorehkan para siswa di berbagai kegiatan lomba baik nasional maupun internasional. Sebut saja Joey Alexander, yang belum lama ini muncul di penghargaan bergengsi Grammy Award. Atau Syahrozad Nafla (9th) dan Avicenna Roghid (6th) yang berhasil mencatatkan namanya dengan tinta emas di ajang Asian Youth Robotic Olyimpiad (AYRO) Maret 2016 lalu (www.pedomanbengkulu.com). Akhir tahun lalu juga 4 pelajar Indonesia menjuarai Olimpiade Biologi Internasional (www.detik.com). Ah, pasti masih banyak lagi yang lainnya kan? 

Selamat Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei 2016. 

Lampung,  Mei 2016 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun