Dion mengangguk lalu mengalihkan perhatiannya ke balik jendela kamar. Hatinya gundah. Teramat gelisah memikirkan hal yang terjadi di hidupnya beberapa bulan belakangan ini.
Hampir tiga bulan belakangan Dion disibukkan dengan aktivitas dunia maya. Dia membuat blog untuk mempublikasikan tulisan- tulisannya. Awalnya iseng, namun Dion tak menyangka jika tulisan- tulisannya menyedot banyak perhatian pembaca. Sikapnya yang ramah dan bijak pun mendapat tempat tersendiri di hati pembaca yang kebanyakan para remaja perempuan. Mereka pun akhirnya mulai mengidolakan sosok Dion. Meskipun identitas aslinya masih tersembunyi, toh tidak mengurangi jumlah fansnya. Yang ada mereka semakin bertambah, hingga mereka membentuk fans club sendiri untuk mendukung dirinya.
Dion tersanjung. Dia berbangga hati. Jumawa. Karyanya bahkan sudah diterbitkan sendiri. Namun sayangnya, meski kesuksesan menghampiri, ada yang mengganjal di hatinya.
Ah, kalau saja mereka tahu yang sebenarnya…
“Tapi cerita lo memang asli keren- keren deh, Yon. Ck, nggak sangka gue punya sahabat jago nulis.”
Dion tersenyum tipis. Dia enggan mengomentari kalimat Restu. Dihelanya napas panjang, kalau lo tahu mungkin lo malu punya sahabat gue, Tu, bisiknya dalam hati.
“Cih, hari gini ada aja orang sirik sama kesuksesan orang ya.” Restu menggerutu di depan layar laptop. Dion semula tak peduli dengan gerutuan sahabatnya, tapi kalimat Restu yang berikutnya embuat tubuhnya menegang seketika.
“Masa’ Yon ini ada yang komen, katanya tulisan lo ini mirip manga- manga Jepang gitu. Cuma beda di nama tokoh. Secara keseluruhan karya lo mirip.”
“Ish, ini model- model orang iri sama lo Yon. Bilang macam- macam lagi.” tambah Restu lagi.
Dion tercekat. Ia merasa sesak. Ternyata serapi apapun ia menyimpannya, masih ada pula yang bisa mencium ketidakberesan di karyanya.
Ya Tuhan, bagaimana ini…
Lampung, Maret 2016