Di akhir masa kolonial, seorang perempuan dipaksa menjadi pelacur. Kehidupan itu terus dijalaninya hingga ia memiliki tiga anak gadis yang kesemuanya cantik. Ketika ia mengandung anaknya yang keempat, ia berharap anak itu akan lahir buruk rupa. Itulah yang terjadi, meskipun secara ironik ia memberikan nama Si Cantik.
***
Kasar, gelap, melankolis dan penuh adegan seksual. Kira-kira begitulah pikiran yang seketika muncul setelah membaca blurbCantik Itu Luka karya Eka Kurniawan. Namun, ekspektasi itu hancur seketika membaca kalimat pertama pembuka cerita:
Sore hari di akhir pekan bulan Maret, Dewi Ayu bangkit dari kuburan setelah dua puluh satu tahun kematian. Halaman 1.
Seketika saya tahu, apa yang saya baca bukan cerita biasa. Bukan cerita yang mudah ditebak.
Kisah ini diawali dengan adegan Dewi Ayu – pelacur tersohor di Halimunda -- yang bangkit dari kubur. Kejadian yang sontak membuat siapa saja yang mengetahuinya dibuat penasaran dan ngeri. Dewi Ayu yang dibuat kagum dengan kemunculannya sendiri di tengah kuburan bergegas menuju rumahnya. Ketergesaan Dewi Ayu disebabkan ia teringat bahwasanya 20 tahun lalu ia baru saja melahirkan anak perempuan, Si Cantik, walaupun ia sendiri belum menengok secantik apa paras bayinya.
Sesampainya di rumah, Dewi Ayu menemukan seorang perempuan buruk rupa yang tidak lain anaknya sendiri, duduk di teras rumahnya. Kaget bercampur bangga itulah yang dirasakannya. Kaget karena tak menyangka anaknya bisa seburuk rupa itu – kulit hitam legam dan hidung seperti colokan listrik. Bangga, karena apa yang inginkan – punya anak buruk rupa -- tercapai. Singkat cerita, setelah melalui beberapa hari di rumahnya sendiri, Dewi Ayu menemukan anak keempatnya hamil tiga bulan. Dengan penuh amarah ia mempertanyakan kehamilan anaknya. Wajah buruk rupa yang ia kira akan menghentikan kutukan di keluarganya ternyata tidak berhasil. Dari sini lah, kisah Dewi Ayu dituturkan…
Cantik Itu Luka diceritakan dengan alur maju-mundur dan sudut pandang orang ketiga. Gaya bercerita yang seolah ingin menonjolkan kepiawaian Eka Kurniawan dalam berkisah. Gaya bercerita yang hingga saat ini sulit saya temukan di tulisan-tulisan orang lain. Cepat, lugas, jelas dan halus.
Hal pertama yang ia ingat adalah bayinya, yang tentu saja bukan lagi seorang bayi. Dua puluh satu tahun lalu, ia mati dua belas hari setelah melahirkan seorang bayi perempuan buruk rupa, begitu buruk rupanya sehingga dukun bayi yang membantunya merasa tak yakin itu seorang bayi dan berpikir itu seonggok tai, sebab lubang keluar bayi dan tai hanya terpisah dua sentimeter saja. Tapi si bayi menggeliat, tersenyum, dan akhirnya si dukun bayi   percaya ia memang bayi, bukan tai dan berkata pada si ibu yang tergeletak di atas tempat tidur tak berdaya dan tak berharap melihat bayinya, bahwa  bayi itu sudah lahir, sehat dan tampak ramah. Halaman 2.
Dalam buku setebal lebih dari 400 halaman ini, Eka Kurniawan berkisah tentang Dewi Ayu. Namun demikian, tidak melulu dari sudut pandang perempuan itu. Dalam buku ini diceritakan kehidupan orang-orang terdekat Dewi Ayu, tiga anaknya: Alamanda, Adinda dan Maya Dewi. Begitu juga dengan tiga menantu dan orang-orang yang berurusan dengan keluarganya. Kesemuanya diceritakan dengan detil. Eka berhasil memberikan jawaban bagaimana watak tokoh dipengaruhi oleh pengalaman pribadinya. ). Eka tidak pelit untuk memberikan porsi ceritanya, bahkan ke tokoh sampingan. Contohnya adalah bagaimana Eka menceritakan tokoh Edi Idiot (salah satu preman yang berurusan dengan kekasih Dewi Ayu). Tokoh Edi Idiot diceritakan dengan cukup detil: dari mana ia berasal, latar masa kecilnya, hingga bagaimana muasal ia menjadi preman di Halimunda. Penggambaran yang membuat pembaca merasa benar-benar mengenal tokoh.
Hal lain yang membuat saya salut adalah cara penggambaran ini tidak terjebak pada tokoh-tokoh sentral. Semua tokoh yang terlibat dalam cerita ini diceritakan dan memiliki porsi dalam menyusun kisah. Dengan penggambaran tersebut, pembaca diajak untuk menyimak setiap petualangan, konflik dan dilema yang dihadapi setiap tokoh. Saya curiga, semua penggambaran ini dimaksudkan Eka untuk ‘menertawakan’ kemalangan tokoh. Dan jika ditarik ke kehidupan nyata, Eka berusaha mengajak pembaca untuk menertawakan kemalangannya sendiri. Menertawakan bukan sebagai suatu hal yang ‘sakit’ atau ‘gila’. Tetapi sebagai suatu cara untuk merespon hal yang ‘memang begitu adanya’ – satir.
Buku ini cocok untuk mereka yang ingin menikmati kisah-kisah pasca-kolonial dengan cara yang tidak biasa. Buku ini juga cocok untuk pembaca yang mendambakan cerita yang tidak mudah ditebak. Jika kamu sedang mencari pengalaman membaca yang berbeda, boleh jadi buku ini akan memuaskan pencarianmu.
Judul: Cantik Itu Luka