Di puncak rezim yang penuh kekerasan, kisah ini bermula dari satu peristiwa: dua orang polisi memerkosa seorang perempuan gila, dan dua bocah melihatnya melalui lubang jendela. Dan seekor burung memutuskan untuk tidur panjang. Di tengah kehidupan yang keras dan brutal, si burung tidur merupakan alegori tentang kehidupan yang tenang dan damai, meskipun semua orang berusaha membangunkannya.
***
‘Burung’ Ajo Kawir tidak bisa bangun. Sekeras apapun ia berusaha membangunkannya, ia selalu menemukan Si Burung meringkuk di antara dua pangkal pahanya. Pernah ia mencoba membalur Si Burung dengan potongan cabai. Di lain waktu, Ajo Kawir sengaja membiarkan lebah menyengat barangnya. Si Burung memang membesar, tetapi ia tetap terlelap. Tak peduli bahwa selama tidur panjangnya berpuluh tahun, ia membuat pemiliknya sengsara.
Semua bermula dari ajakan Si Tokek mengintip dua polisi memerkosa perempuan gila. Ajakan yang tidak disangka menimbulkan petaka. Karena Ajo Kawir kedapatan mengintip mereka bertiga, setelah jatuh dari jendela, menimbulkan suara debam. Semenjak itu, Si Burung memutuskan untuk tidur panjang. Tentu, tanpa restu dari pemiliknya.
Setelah kejadian itu, Ajo Kawir selalu mendapati dirinya terlibat dalam perkelahian. Entah bagaimana, ia selalu menemukan alasan dan orang yang bisa diajaknya berkelahi. Semua episode perkelahiannya didukung satu hal: hanya orang yang tidak bisa ngaceng, bisa berkelahi tanpa takut mati. Sampai suatu ketika ia harus berhadapan dengan seorang perempuan yang menghalanginya menghajar seorang juragan kurang ajar. Tak disangka perempuan bernama Iteung itu membuatnya jatuh cinta. Singkat cerita mereka menikah, dengan Si Burung yang tetap tidur pulas. Ketika kita kira cerita berakhir bahagia, Eka Kurniawan punya pikiran lain.
Karya Eka Kurniawan yang satu ini kembali menunjukkan konsistensi penulisnya untuk mengangkat roman, humor, tragedi dan satir dalam satu cerita. Masih dengan latar Indonesia yang kental dengan nuansa desa yang komunal. Namun, novel ini berbeda dengan Cantik Itu Luka dan Lelaki Harimau yang ditulis dengan susunan kalimat panjang dan bertingkat-tingkat. Seperti Dendam, Rindu Harus Dibalas Tuntas nampaknya adalah hasil eksperimen Eka untuk membangun cerita dari fragmen-fragmen pendek. Dalam novel terbitan tahun 2014 ini, anda akan jarang menemukan kalimat dan paragraf yang panjang. Dalam beberapa bagian, anda justru bisa menemukan fragmen yang hanya disusun dengan tiga kalimat saja (lihat halaman 114).
Justru dengan gaya penceritaan baru tersebut, Eka Kurniawan semakin memperkuat paradoks dan satir dalam ceritanya. Membuat pembaca dengan mudah mengingat fragmen-fragmennya yang mengundang senyum bahkan tawa.
Salah satu adegan favorit saya adalah sebuah gambaran menggelitik mengenai religiusitas masyarakat Indonesia. Adegan ini muncul di halaman-halaman awal, sebagai bagian yang menunjukkan betapa parahnya Ajo Kawir dan Si Tokek terlibat dalam perkelahian.
Wa Sami, yang sering putus asa melihat kelakuan mereka, hanya akan berseru ambil menjewer mereka, “Masya Allah, bisakah sekali waktu kalian berhenti menjadi makhluk sia-sia?”
“Tuhan bilang, tak ada yang sia-sia di dunia ini,” kata Si Tokek.
“Jangan sok tahu. Kau tak tahu apa-apa tentang apa yang dikatakan Tuhan.” – Halaman 4-5.