Pada lanskap yang sureal, Margio adalah bocah yang menggiring babi ke dalam perangkap. Namun di sore ketika seharusnya rehat menanti musim perburuan, ia terperosok dalam tragedi pembunuhan paling brutal. Di balik motif-motif yang berhamburan, antara cinta dan pengkhianatan, rasa takut dan berahi, bunga dan darah, ia menyangkal dengan tandas. “Bukan aku yang melakukannya,” ia berkata dan melanjutkan, “Ada harimau di dalam tubuhku.”
***
Tidak ada yang menyangka Margio bakal membunuh Anwar Sadat. Bagi orang-orang, akan lebih masuk akal kalau Margio membunuh bapaknya, Komar bin Syueb. Orang-orang tahu, bapaknya lah yang selama ini membesarkannya dengan pukulan dan hardikan. Karena itulah, di balik tubuhnya yang kuat dan kekar, ia menyimpan dendam yang begitu dalam terhadap bapaknya. Berkali-kali dalam kesempatan yang berbeda ia menggumamkan keinginannya untuk membunuh Komar bin Syueb. Walaupun begitu, orang-orang percaya ia takkan melakukannya. Bagaimana pun Margio bukan lelaki berandalan yang tak jelas juntrungannya. Ia adalah lelaki yang tak menyukai kekerasan.
Pun, tidak ada yang menyangka bagaimana Margio membunuh Anwar Sadat. Ia menancapkan gigi-giginya ke leher lelaki tua itu. Menyempalkan potongan daging yang membungkus uratnya. Merompalkan lehernya dengan seketika. Layaknya harimau yang menerkam mangsa.
Seperti karya-karya lainnya, Eka Kurniawan berhasil menghipnotis pembaca masuk dalam situasi yang meyakinkan sejak awal cerita,:
Senja ketika Margio membunuh Anwar Sadat, Kyai Jahro tengah masyuk dengan ikan-ikan di kolamnya, ditemani aroma asin yang terbang di antara batang kelapa, dan bunyi falsetto laut, dan badai jinak merangkak di antara ganggang, dadap, dan semak lantana. – Halaman 1.
Sepanjang novel Lelaki Harimau ini, Eka secara konsisten menggambarkan latar dengan detil. Tidak dengan diksi yang puitis, tetapi lebih dengan pilihan kata yang jujur dan lugas. Dengan pilihan itu, Eka membuat novel ini terasa begitu gelap dan muram.
Konsistensi penggambaran juga berlaku pada tokoh-tokohnya. Sebagaimana karyanya yang lain, Cantik Itu Luka, Lelaki Harimau juga menyajikan berbagai sudut pandang dalam menilai konflik utama melalui tokoh-tokohnya. Sudut pandang yang ada juga diperkuat dengan latar pengalaman yang disampaikan oleh Eka. Di saat yang bersamaan, ada perkembangan dari Cantik Itu Luka ke Lelaki Harimau. Tampaknya Eka lebih sabar dan tidak gegabah untuk menceritakan semua tokoh yang ada di novelnya. Beberapa tokoh seperti Kyai Jahro dibiarkan memiliki peran minor.
Secara isi, novel ini sebenarnya memiliki premis yang cukup sederhana. Lembar demi lembar, pembaca diajak untuk mencari tahu mengapa Margio membunuh Anwar Sadat. Tetapi justru dalam perjalanan mengetahui itu, Eka memberikan pengalaman yang luar biasa. Cerita disampaikan dengan alur maju-mundur yang saya kira cukup rumit untuk ditulis. Penulisan khas Eka Kurniawan dengan kalimat panjang dan detil yang memanjakan imajinasi. Tetapi tak urung, gaya penulisan semacam itu yang membuat saya lelah dan gagal menyelesaikan novel ini dalam sehari. Untuk ukuran sebuah novel tipis, Lelaki Harimau sangat berbobot dan cukup menguras tenaga.
Bagian favorit saya ada di akhir cerita. Menurut saya, itu seperti bagian yang ditunggu-tungu sejak cerita dituturkan. Cukup sederhana, tetapi menjadi bagian yang mencerahkan setelah diombang-ambingkan banyak fakta dan sudut pandang dari berbagai tokoh. Dari akhir cerita ini, saya bisa bilang manusia itu terlalu kompleks baik jalan pikir maupun alur hidupnya. Dan apa yang dianggap sebagai ‘nilai moral’ oleh masyarakat terlalu sederhana untuk dijadikan pedoman.
Novel ini cocok bagi kamu yang rindu cerita-cerita bernuansa gelap dengan latar pedesaan khas Indonesia. Cocok juga bagi kamu yang menikmati novel dengan banyak tokoh dan menjanjikan perkembangan psikologi tokoh.
Nilai: 4/5