[caption id="attachment_247747" align="aligncenter" width="300" caption="Ft : A.K Koordinator pendidikan IMAPA B"][/caption]
Artikel Bidang Pendidikan (April, 2013)
Oleh Andreas F Andreas Kandenapa
Papua Eduacation Outlook 2013
Menurut data statistik yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik Republik Indonesia Tahun 2010, populasi penduduk di Papua dan Papua Barat masing-masing 2.852.000 jiwa dan 760.000 jiwa, dengan kepadatan penduduk antara 8 sd 9 jiwa per km2. Laju pertumbuhan penduduk antara tahun 2000 sampai 2010 di Papua 5,46% dan Papua Barat 3,72% per tahun. Hal ini menunjukan bahwa ketersediaan sumber daya di Papua untuk menunjang program pembangunan masih sangat luas, baik dari segi luas wilayah maupun dari segi kependudukan dan angkatan kerja (economically force). Masalah kemudian timbul ketika jumlah sekolah (SD, SMP, dan SMA) serta Perguruan Tinggi di Papua secara kualitas dan kuantitas tidak dapat mendukung pembangunan masyarakat. Contohnya dalam Statistical Year Book of Indonesia 2010, jumlah perguruan tinggi negeri (PTN) di Papua dan Papua Barat masing-masing satu perguruan tinggi, dengan total mahasiswa PTN di Papua 11.556 orang dan di Papua Barat 3.976 orang. Sedangkan jumlah perguruan tinggi swasta (PTS) di Papua adalah 36 PTS dengan 22.479 orang mahasiswa dan di Papua Barat 15 PTS dengan 11.018 orang mahasiswa. Jumlah ini tentu adalah jumlah yang sedikit jika dibandingkan dengan 60.883 orang mahasiswa perguruan tinggi negeri di 3 PTN di Propinsi Sumatera Utara dan 127.697 orang mahasiswa di 7 PTN di Propinsi Jawa Barat. Selain itu, masalah sarana dan prasarana pendukung dalam proses pembelajaran masih sangat kurang. Kurangnya sarana dan prasarana ini berdampak langsung terhadap penguasaan materi oleh peserta didik. Belum lagi ketika dilihat masalah profesionalisme dan idealisme akademis yang tidak terbudayakan dalam proses pendidikan mahasiswa di Papua dan Papua Barat. Kejujuran akademik yang kurang akan membawa dampak pada penurunan kualitas lulusan perguruan tinggi. Hal inilah yang menjadi salah satu faktor penentu ketika propinsi Papua dan Papua Barat menempati posisi “juru kunci” dalam daftar Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tahun 2008 dengan nilai 64,00 untuk Papua dan 67,95 untuk Papua Barat. Nilai ini terpaut cukup jauh dari Propinsi Sumatera Utara (73,29) dan Jawa Barat (71,12).
Readjustment & community-based development
Hasil analisis statistik diatas dipertegas dalam suatu artikel tentang Papua yang dimuat dalam harian Kompas edisi 12 Agustus 2011, yang menjelaskan perilaku psikologi-sosial dari masyarakat asli Papua akibat kondisi diatas. Seperti yang juga terjadi di berbagai komunitas, kegagalan masyarakat lokal menyesuaikan diri (readjustment) terhadap perubahan yang cepat menyebabkan mereka mudah terpicu untuk melakukan gerakan-gerakan radikal atau tetap diam dengan memendam suatu persoalan. Studi yang dilakukan Ngadisah (2003) menyimpulkan, hakikat gerakan sosial di Papua intinya adalah penolakan terhadap kebijakan pembangunan yang mengabaikan keberadaan masyarakat lokal.
Untuk mengembangkan kembali identitas budaya masyarakat Papua sekaligus mengeliminasi kesenjangan sosial yang timbul, salah satu upaya yang perlu dilakukan ke depan adalah bagaimana mengembangkan proses revitalisasi unsur budaya lokal. Secara garis besar, arti penting dilakukan revitalisasi budaya di kalangan masyarakat Papua adalah, pertama, budaya pada hakikatnya merupakan media yang memungkinkan pembangunan dapat berlangsung tanpa menimbulkan efek samping berupa terjadinya kesenjangan sosial dan alienasi. Artinya, pembangunan yang diintroduksi melalui budaya masyarakat (community-based development) memiliki tingkat resiko penolakan masyarakat “akar-rumput” yang rendah.
Kedua, unsur-unsur budaya mempunyai legitimasi tradisional di mata orang-orang yang jadi sasaran program pembangunan. Ketiga, unsur-unsur budaya punya aneka ragam fungsi—baik yang terwujud maupun yang terpendam— yang sering menjadikannya sarana paling berharga untuk perubahan dibandingkan dengan yang tampak di permukaan jika hanya dilihat dalam kaitan dengan fungsinya yang terwujud.
Program Beasiswa Daerah
Salah satu program andalan pemerintah dalam mengatasi permasalahan-permasalahan diatas adalah dengan peningkatan kualitas SDM Papua dan Papua Barat lewat program beasiswa ke berbagai perguruan tinggi negeri dan swasta di seluruh Indonesia.
Namun dalam perkembangannya, ada banyak masalah baik dari sisi penyandang dana (Pemkab. Waropen) maupun dari sisi mahasiswa. Permasalahan ini menjadi suatu masalah yang berlarut-larut dan dihadapi penyandang dana dari pemkab/pemkot lain di Papua. Masalah yang dihadapi mulai dari masalah pembayaran SPP, masalah pemondokan (kost), biaya hidup, adaptasi budaya dan cara belajar. Bahkan masalah KKN dalam implementasi program ini. Permasalahan-permasalahan ini tentu saja merupakan efek domino dari proses yang keliru dan/atau tidak lengkap. Karena itu perlu dilakukan suatu evaluasi mendasar mengenai proses pendidikan mahasiswa mulai dari seleksi, pendampingan dalam proses pendidikan sampai dengan lulus. Penyiapan calon mahasiswa sejak dini dengan pembekalan dan pendampingan terintegrasi (sejak masa sekolah hingga proses perkuliahan) adalah mutlak diperlukan. Selain itu, peran masyarakat-adat dan gereja merupakan suatu hal mutlak. Pengembangan kepribadian dari calon mahasiswa melalui dua pranata sosial ini adalah jalan untuk mengembangkan program dengan konsep pembangunan berbasis masyarakat (community-based development). Dengan demikian, pembangunan dapat menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat karena sudah ada modal sosialnya. Harapannya program beasiswa asal Papua dan Papua Barat ini bukan hanya menjadi program pendongkrak popularitas pemimpin politik, tapi juga dapat menjadi suatu pelayanan dan pengabdian yang membawa solusi pembangunan.
Papua, BISAA!!! :)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI