I
Duhai, Ibu Laut. Mengapa manikmu selalu menatap mereka dari kejauhan? Bak elang yang mengincar mangsa, kau terkam mereka dengan cakar airmu. Nirwana menanti manusia yang menjadi santapan ombakmu. Sang cakrawala menanti kau meredam amarah. Meliputi manusia dengan bayang-bayang durjana. Burung camar yang tak jenuh melafalkan tembang-tembang emas mereka. Menjadi irama pengantar tidur manusia yang berhasil kembali kepelukan Sang Buddha.
Risak-riya mereka terhadap Ibu Laut. Berlandaskan renjana yang dipenuhi percik asa. Pijar rasa meguar dari dalam semesta. Ibu Laut nelangsa. Ibu Laut nuraga. Pancarona yang tergambar di atas hamparan ombak. Menemani para manusia menuju relung Sang Buddha.
IIÂ
Kidung agung terdengar. Memuji habis Sang Ilahi. Binar asa sudah redup. Binar asa sudah sirna. Siapa yang sangka hari ini para manusia harus rela lebur dalam pelukan dingin Ibu Laut? Bersama rasa yang tak akan pernah redup. Aksara yang tak akan pernah habis. Melanjutkan silabel dalam dekapan Sang Buddha.
Tenggelam dalam asmaraloka Ibu Laut yang menggelora. Abadi dalam kesunyian. Gempita ombak yang menyertai. Dibawah gemintang yang cemerlang, manusia beristirahat dalam hanggatnya Sang Buddha.
III
Adzan berkumandang memuji Allah. Litani tergaung memuji Sang Kristus. Lokananta terdengar samar dari kejauhan. Dibalik jalinan awan bak permen kapas putih. Manis dirasakan. Lara dirasakan. Dusta dirasakan. Mazmur Ilahi yang tergema, menuntun manusia masuk menuju jalan Sang Buddha.
Sang Maharani menanti. Bersama para prajurit yang menjura. Menanti datangnya swastamita. Di sisi kanan Sang Buddha.
Terinpirasi tragedi tenggelamnya KRI Nanggala 402
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H