Di sebuah warung kopi, di pagi yang cerah. Seorang kuli bangunan (KB) yang sedang istirahat bertemu dengan seorang kuli tinta (KT) yang sedang menunggu panggilan liputan.
KB: ga ngantor mas?
KT: ini lg nunggu panggilan dr kantor.
KB: kerjanya apa mas?
KT: wartawan pak
KB: oh asik dong, gaji gede bisa keliling sana-sini? Ga kaya saya yang cuma diem di satu tempat selama berbulan-bulan sampai bangunan selesai. Saya ngiri sama penghasilan sampeyan, mas.
KT: ah sama aja pak kita kan sama-sama kuli. Bedanya saya membangun persepektif sedangkan bapak membangun gedung. Saya juga ngiri sama badan bapak. Tinggal grooming dikit bisa jadi cover men’s health, pak.
KB: hahahaha, shaped by nature ini, mas. ada berita apa hari ini mas?
KT: biasa, sama kaya kemaren, yang ada darah-darahnya lah, pak.
KB: maksudnya?
KT: iya, berita tragedi-tragedi. Pokoknya yg sedih-sedih gitu lah ,pak.
KB: oh, berarti bener motto yang bilang the bad news is a good news itu?
KT: loh kok bapak tau?
KB: yah, jelek-jelek gini saya juga sering baca.
KT: ooh…
KB: menurut mas, kenapa media selalu nulis berita yang sedih-sedih?
KT: menurut bapak, kenapa sekarang banyak sinetron kacangan yang diputar tiap hari di tv?
KB: lah itu mah hiburan buat saya sama istri saya mas, setelah capek kerja seharian.
KT: ya itulah kenapa media selalu nulis berita-berita sedih. Untuk orang-orang kaya bapak. Orang-orang kecil cenderung suka sama berita buruk karena bisa membuat mereka selalu merasa bersyukur dengan hidupnya sekarang yang ‘kelihatannya’ jauh lebih baik daripada apa yang ditampilkan media. Ini masalah empati simpati, pak. Waktu bapak nonton sinetron, bapak juga pasti ikutan sedih kalo liat tokoh utamanya yang cantik disiksa. Padahal itu mah bapak aja yang mengidentifikasi diri bapak ama pemeran utamanya. Kenyataannya kehidupan bapak masih sama menyedihkan sedangkan si artis yang bapak kasihani bisa beli mobil dari hasil satu kali syuting stripping. Dan satu lagi kenapa sinetron laku keras, soalnya orang-orang susah yang belum pernah ngerasain jadi orang kaya, dikasih kesempatan buat sedikit menengok dunia utopis yang dibangun dari rumah gede, mobil mewah, pakaian bagus. Seenggaknya itu bikin mereka ‘merasa’ jadi bagian dari keluarga kaya walau cuma dalam satu jam dikurangi waktu iklan.
KB: trus kapan media berhenti beritain tragedi, mas?
KT: pertanyaan tentang kapan adalah pertanyaan yang jawabannya sama kaya kalo bapak nanyain tentang kapan kiamat. Ga ada yang tau. Selama belum kiamat mah dunia ga bakal sepi tragedi, pak. Perang, perebutan lahan, kekuasaan, suap sana-sini, kelaparan, kemiskinan itu sumber rejeki buat saya.