Mohon tunggu...
Imanuel  Tri
Imanuel Tri Mohon Tunggu... Guru - Membaca, merenungi, dan menghidupi dalam laku diri

di udara hanya angin yang tak berjejak kata. im.trisuyoto@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Ingin Resign? Mintalah Pertimbangan Pasangan

12 Maret 2021   04:45 Diperbarui: 12 Maret 2021   04:45 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap orang memiliki titik jenuh dalam pekerjaan. Kejenuhan bisa disebabkan oleh banyak hal seperti, pendapatan yang tidak berubah, aktivitas kerjaan yang itu-itu saja, jenjang karier yang stagnan, hingga mengalami ketidakcocokan dengan teman sejawat maupun pimpinan.

Saya termasuk orang yang pernah mengalami kejenuhan kerja tingkat tinggi hingga berkeputusan akan resign. Bersyukur, tidak jadi!

Lo, kok bersyukur? Hi hi hi ini jejak di buku harianku:

Diary, 2013

Membuat rancangan kerja itu melelahkan. Namun kalau sudah jadi rancangan dan prospek baik untuk bisa dipraktikkan itu senangnya bukan kepalang.

Sayangnya tidak demikian di dunia pekerjaan saya. Mau tidak mau saya harus selalu tunduk pada aturan yang membelenggu kreativitas ku.

Aku sebenarnya lebih suka bekerja daripada mendiskusikan pekerjaan. Aku juga lebih suka action kerja dari pada sekadar menyusun program dan laporan kerja.  

Hal itu  sepertinya memicu saya masuki titik kejenuhan kerja. Bagaimana tidak! Saya butuh bukti perubahan atas kerja, sementara  lembaga tempat saya bekerja sepertinya lebih suka setumpuk administrasi yang tertata rapi.

Resign! Resign! Ya, Resign!

Tapi, aduh! Istri memberikan pertimbangan tidak usah resign. Nanti, kerja apa? Nanti, kuliah anak-anak bagaimana?

Begitulah keresahan hati seorang istri. Gaungnya tak pudar berhari-hari.

Namun, ....

Demi kasih pada biduk yang kami jalankan di lautan kehidupan, aku turuti istri. Tidak marah? Tidaklah. Untuk menang barang kali diperlukan teknik mundur selangkah dua langkah sebelum menyerang lebih garang.

Diary, 2015

Dua tahun lebih saya menaikkan aktivitas dan kreativitas di luar pekerjaan harian saya. Tujuan saya ada dua yaitu  membuktikan bahwa saya mampu memiliki penghasilan seandainya resign, dan memperluas kapasitas diri di kancah terbuka.

Menurut hitungan matematis saat itu,  saya memperoleh keduanya. Saya bisa mendapatkan tambahan penghasilan jauh lebih besar dibanding penghasilan bulanan yang stagnan. Dan, saya juga mulai dikenal di berbagai wilayah sebagai partner kerja.

Namun, lagi-lagi keresahan istri begitu mengelabuhi hitungan matematis yang saya buat.  Saya pun takzim pada pendapat istri, belahan jiwa.

Dan benar bahwa uang bukanlah sebuah ukuran kecukupan. Juga, ketenaran nama bukanlah jaminan untuk sebuah kebahagiaan.

Tahun ini, pun aku gagal resign!

Diary, 2016

Hari-hari kerja saya jalani sebagaimana aturan kupadukan dengan gaya kesukaan saya. Tentu itu tak terlalu ideal bagi lembaga tempat saya bekerja.

Namun, tak ada aturan secara eksplisit yang bisa digunakan untuk menyalahkan saya. Jadi, mengalirlah aktivitas kerja apa adanya.

Diary,  2017

Beberapa kawan yang paham kerinduan saya, beberapa kali bertanya. Tidak jadi resign, Kang? Bahkan ada yang terang terangan menawarkan diri untuk menguruskan  resign!

Saya tersenyum saja. Lantas dengan halus mengatakan, tidak!

Alasan saya, sederhana.  Saya tidak lagi punya argumentasi untuk berdiskusi dengan istri. Selain itu tenaga dan daya jelajah saya sudah menurun karena usia.

Jadi, saya menyimpulkan diri untuk mengalir saja di aliran air yang tenang nan menyegarkan. Toh, di lembaga tempat saya bekerja tak membuat beda yang signifikan atara pekerja nguler kambang dan pekerja berjibakau-an.

Diary, 2020

Bulan Mei merupakan bulan ketiga pandemi melanda bumi Pertiwi. Seperti terjadi perang zaman purba.

Korban bergelimpangan di mana-mana. Satu wilayah runtuh, menyusul wilayah lainnya lumpuh. Siksaan covid terjadi secara masif. Kematian pun tersiarkan menakutkan setiap menit di media masa.

Pembatasan aktivitas warga masyarakat dijalankan. Tempat umum mulai ditutup. Tempat kerja dibatasi jumlah pekerjanya.

Puncak peristiwa yang tak pernah saya bayangkan benar benar terjadi.

Perusahaan mengurangi upah karyawan. Sebagian lagi merumahkan sebagian karyawannya. Dan tidak sedikit perusahaan yang mem- PHK karyawan tanpa pesangon apa-apa. Duh, ngenes!

Mei, akhir bulan

Subuh datang mendarat. Bulan sepotong menggantung erat. Selepas mengunyah ayat-ayat yang mencerahkan jiwa, kupeluk pundak istri kuat-kuat.

Dengan tetes air mata suci kubasahkan hati. Kutarik garis mundur sejauh lima enam tahun yang telah tetlewati.

Masih tampak jelas, bagaimana istri dengan gagah berargumentasi agar sang suami, saya tidak perlu resign! Ya, jangan resign!

Andai waktu itu hatiku mengeras dan  membatu tak tertandingi, bisa jadi hari ini kami benar-benar berat di ekonomi.

Terima kasih buat istri yang tajam berintuisi, hingga biduk kita tak oleng melancar di tengah samudra kehidupan hari ini.

Diary, 2021

Masih ada harapan,....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun