Dalam waktu yang tidak terlalu cepat, bantuan berdatangan dari sanak saudara di sekitar kejadian. Bantuan dari para dermawan dari berbagai penjuru daerah juga mengalir. Meskinpun toh, terkadang bantuan itu tidak bisa menutupi semua kebutuhan para korban.
Empati yang silih berganti tanpa tendisi itu cukup membesarkan hati. Maka mereka, para korban banjir bersemangat bahu membahu saling menguatkan. Mereka memiliki semangat berbagi demi kehidupan pasca banjir.
Penderitaan di pengungsian sebenarnya tidak ringan namun mereka memikul dan menanggungnya secara bersama. Hingga derita yang mendera itu tak merapuhkan kehidupan masa depan. Â
Nah, itu tadi potret sikap masyarakat kita saat terjadi banjir. Tetapi itu dahulu. Iya, dahulu!
Reaksi masyarakat atas banjir di masa sekarangÂ
Akibat banjir sebenarnya sama saja, baik banjir masa lalu maupun banjir masa sekarang. Korbannya selalu mengalami kerugian dan mengalami penderitaan. Di wilayah mana pun sama saja. Beda tipisnya terletak pada jenis banjir dan durasi waktu air bertahan.
Namun, ini rekasi masyarakat kita sekarang. Masyarakat yang mana? Ah, ya relatif semua lapisan masyarakat -- ini hanya sejauh mata penulis mengamati -- selebihnya mohon maafkan penulis.
Tengoklah reaksi masyarakat yang terabadikan di medsos. Sungguh nggilani! Â Tahun lalu, ketika wilayah Jakarta mengalami banjir besar reaksi empati nyaris terbungkam oleh reaksi saling menyalahkan bahkan saling hujat. Waraskah, demikian itu?
Jangan beralibi bahwa yang bereaksi nggilani bin njijiki hanya  kaum anak-anak yang terpinggirkan tak berpendidikan. Mikir sedikit, yuk! Kalaupun itu iya, mereka itu terempartasi oleh sikap yang dipertontonkan oleh kaum intelek yang notabene berpendidikan tinggi. Iya, kan!
Pendidikan praktis yang selalu berhasil bukan pendidikan di sekolah atau perguruan tinggi. Pendidikan yang selalu berhasil dengan cepat mengubahkan generasi yaitu sikap perilaku yang dipertontonkan setiap saat oleh para publik figur.
Eh, tahu tidak pada awal Februari ketika sebagian Semarang bawah dilanda banjir? Ada seorang tokoh nasional kondang, seorang budayawan kelas panutan (semestinya) membuat cuitan begini: "Semarang dikepung banjir, ya? Itu menurut WA dari temen barusan. Apa betul? Soalnya medsos sepi," (Wartakotalive.com. Sabtu, 6 Feb 2021). He he he ujaran yang lu-ar-bi-a-sa!
Kalimat yang dicuitkan itu bisa saja multi tafsir. Tetapi bukti empirik menunjukkan bahwa cuitan itu memantik kegaduhan netizen sebab cuitan itu ditafsirkan sebagai subuah ledekan kepada pemimpin Jawa Tengah, yang memang berkantor di Semarang. Ragu, kurang percaya? Heh, jejak digital tak akan mendusta sekalipun yang dimanuskripkan itu tentang dusta ha ha ha. Buka saja, gih!