Setiap kali menjelang Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB), penulis selalu saja teringat sebuah peristiwa 'menyakitkan' berpuluh tahun lalu. Entah, itu termasuk trauma atau sekadar bayangan suam-suam.
***
Sore itu sudah memasuki magrib. Istri pulang dari kumpulan PKK - Ibu-ibu di kampung. Biasa kumpulan ibu-ibu selalu saja tak pernah kurang dengan tebaran cerita.
Cerita buatan, cerita kenyataan, dan cerita penuh bumbu sensasi dari sudut pribadi sepertinya selalu update. Ada juga cerita 'pamer' membanggakan macam-macam hingga membanggakan si buah hati.
Tersebutlah oleh istri, seorang ibu paling kaya argumen di eR-Te. Sebut saja Bu Prenjak. Ajang PKK itu dikuasai secara penuh dan meyakinkan. Dia umbulkan anaknya si Deo, yang baru saja masuk di kelas 1 SD.
"Gurunya itu sampai heran sama Deo. Apa saja bisa dibaca. Deo itu dites suruh baca "ini ibu budi" ya kecil!" pidato Bu Prenjak.
"Hala, cuma "ini ibu budi" gampang. Fadli juga bisa, Bu!" sergah ibu yang lain.
Tentu ibu-ibu yang lain tak mau kalah ha ha ha. satu persatu ibu yang punya anak usia masuk SD saling mengunggulkan anak masing-masing. Cuma istriku yang diam. Mungkin dengan menunduk kecut di ruangan arisan hi hi hi.
Pasalnya, waktu itu istri saya juga punya anak -tentu anakku juga- yang baru saja masuk SD. Dan anak kami itu belum bisa baca sebab saya memang melarang untuk memaksanya membaca.
Beda dengan anak tetangga kebanyakan yang waktu TK dipaksa-paksa bisa baca. Les privat pada gurunya. Cari bimbel ke sana-sani asal anaknya bisa baca. Dan ketika anaknya mulai bisa baca, bahan untuk bercerita kebanggaan seperti tak ada habisnya.
Nah, begitulah cerita menyakitkan beberapa puluh tahun lalu. Masih saya ingat dan saya rasakan.