Mohon tunggu...
Imanuel  Tri
Imanuel Tri Mohon Tunggu... Guru - Membaca, merenungi, dan menghidupi dalam laku diri

di udara hanya angin yang tak berjejak kata. im.trisuyoto@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lolos Mudik

23 Mei 2020   03:31 Diperbarui: 23 Mei 2020   19:07 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://ainisaid.blogspot.com


Menjelang malam Lebaran. Rumah di pojok desa, dekat persawahan itu ramai. Ya, tiba-tiba ramai! Beberapa orang tampak merapikan teras. Ada yang mengeluarkan perabotan. Ada pula keluar masuk rumah dengan tergesa.  

"Ada apa?" tanya seorang tetangga yang baru datang.  
"Iya, ada apa?" tanya yang lain.
Jawaban sepotong-sepotong berseliweran saling menimpa. Entah mereka dapat potongan cerita jawaban itu dari mana. Semua mengatakan, katanya! Mereka tak satupun menyebutkan kata siapa. Namun, cerita satu dan lainya ada kemiripan. Bahkan terdapat pertalian.

***

Ya, memang Sodrun, anak semata wayang pemilik rumah di pojok desa itu baru pulang tadi pagi dari kota. Dia yang sudah beberapa tahun merantau itu tak pernah pulang. Bahkan ketika emaknya sakit tahun kemarin, dia tidak mau pulang ketika dijemput oleh kerabatnya. Dia beralasan kalau sedang ada kerjaan yang tidak bisa ditinggalkan. Namun, di situasi pandemi seperti ini, dia bisa pulang!

"Lo, kok bisa pulang?" tanya salah satu tetangga.
"Kenapa tidak?" jawab seorang kerabat yang telah bertemu dengan Sodrun.
"Lo, ini kan sedang diberlakukan PSBB! Bagaimana dia bisa lolos mudik?" tanya tetangga yang lain.
"Iya, gimana itu?" tetangga lainnya lagi bertanya, penasaran.
"Nah, itulah hebatnya Sodrun! Dia berhasil lolos mudik!" jawab kerabatnya itu, kemudian.

Kerabat itu bercerita dengan bangga. Si Sodrun itu berhasil mengelabuhi petugas. Tidak hanya di satu titik pengamanan. Lebih dari sepuluh titik pengamanan bisa dilewatinya dengan aman. Ada saja cara yang dilakukannya.


Sekali waktu, dia menggunakan alasan sehat. Tentu dengan menunjukkan surat-surat yang entah benar atau abal-abal. Nyatanya, motornya bisa melaju melanjutkan perjalanan. Di waktu berikutnya, dia menerobos titik pengamanan ketika para petugas sedang kelelahan. Bahkan, dia juga memanfaatkan waktu dini hari ketika kebanyakan orang sedang terlelap beristirahat. Demi bisa lolos mudik, apa pun dia lakukan.

"Maaf, Pak. Maaf, mohon kebijakan Bapak-Bapak. Saya benar-benar harus pulang karena orang tua saya meninggal dunia. Mohon maaf, Pak," Sodrun merengek kepada petugas di titik pengamanan terakhir sebelum memasuki wilayah kotanya. Waktu itu suasana di perbatasan kota sangat sepi. Sudah lewat tengah malam.

Sodrun terus merengek. Tentu saja itu rengekan berbohong. Dan rengekan bohong itu berhasil melemahkan pertahanan petugas hingga ia bisa melanjutkan perjalanan membelah malam.

Hanya beberapa jam saja, dia sudah memasuki kampung perbatasan desanya.

Rasa lelah sebenarnya sudah menyerangnya. Bagaimana tidak hampir dua puluh empat jam ia bersepeda motor. Tetapi lelah itu tak dirasakan ketika rasa rindu teduhnya pedesaan begitu menyeruak di dadanya. Bahkan gelora kemenangan atas keberhasilannya lolos dari pos penjagaan petugas juga menyumbang semangatnya hingga melupakan lelah yang mulai menyusupi saraf-sarafnya.

Dingin udara pedesaan juga mulai memusuhinya tetapi tidak dihiraukannya. Bahkan tiupan angin sawah yang menusuki tulang pun tak dirasakannya. Ia terus memacu motornya dengan digelayuti sebuah ransel di punggung.

Lewat subuh, dia benar-benar berhasil lolos mudik. Dia sudah menginjakkan kaki di depan pintu yang sudah beberapa tahun tidak diinjaknya. Diiringi sayup-sayup suara azan subuh detak jantung kerinduan, kesenangan, kegalauan bercampur jadi satu dengan bunyi ketukan pintu. Bagaimana tidak begitu! Beberapa tahun seperti melupakan tanah kampung dan orang yang melahirkan. Kini, akan kembali tersambung dan dinikmati.

***

"Kamu pulang, Le," suara emaknya terbata. Tangan perempuan kelewat baya itu mengelus kepala anaknya yang telah berhasil mudik. Ia menumpahkan kerinduan yang beberapa tahun disumbat di kantong hati.

"Selamet, sehat ya, Le," bapaknya tak kalah rindu dari emaknya. Namun, sebagai lelaki, bapaknya itu tak akan menampakkan kecengengan. Pantang baginya, lelaki desa menumpahkan kecengengan di depan anak.

Sodrun melepas rindu beberapa waktu. Dia memohon maaf kepada ibu dan bapaknya. Tidak lupa  ia bercerita pekerjaan-pekerjaannya di kota. Bahkan ia juga bercerita perjalanannya yang berhasil lolos mudik. Lantas ia kehabisan tenaga.

"Sudah, istirahat saja dulu. Hari ini puasa terakhir. Sore nanti, takbir lebaran akan berkumandang," kata bapaknya.


"Emak, aku istirahat dulu," pamitnya kepada emaknya.

Dua orang tua yang sudah kelewat baya itu kemudian meninggalkan balai-balai bambu. Suara berderit terdengar tak  berirama, seperti mengabarkan bahwa usianya sudah renta. Pun baru beberapa menit, balai-balai tua itu sudah mampu mengantarkan Sodrun ke alam peraduan.

****  

Menjelang senja kumandang takbir mulai terdengar. Suara itu melantun dari kaset,  sebagai persiapan takbir malam lebaran yang sesungguhnya,  alam nanti. Namun, lantunan takbir itu tiba-tiba terhenti. Mereka yang ada di masjid berlarian ke rumah di pojok desa.

Rumah itu semakin ramai. Tetangga kiri kanan berdatangan.

"Ada apa?" tanya seseorang.
"Kang Sodrun, berpulang," jawab kerabatnya.
"Lo, dia kan di kota?" kata seseorang, mengernyitkan alis mata.
"Subuh tadi,  Kang Sodrun berhasil mudik. Karena lelah, ia tidur seharian dan tidak bangun lagi," kerabatnya itu menahan sedih.
"Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un,"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun