Musim gerimis kemarin telapak kakiku luka tergores beling pecahan kaca para demonstran. Darah tak seberapa tak sepadan dengan perih yang kurasa. Emak dengan bersegera menjual kayu bakar yang masih basah darah. Demi mendapatkan alas kaki anaknya yang telanjur luka meniris merah.Â
Aku belum mengerti dalam kasih ibu di musim gerimis itu.Â
Musim debu kini tak henti menyibak batu-batu yang garang merobek jemari  kakiku. Darah tak seberapa tak sepadan dengan tetes peluh emak yang mengeras di keriput kulinya yang makin tua. Emak dengan senyuman sorga didekapnya sepasang sepatu usang buangan malaikat penjaga neraka. Demi kaki anaknya agar tak lagi terluka. Â
Aku masih juga belum tahu tinggi kasih ibu di musim debu kini.Â
Lantas waktu terus beranak cucu hingga memirang putih rambut emakku. Burung elang menendang sayang anak yang dicitainya. Elang kecil terbuang melayang teriak-teriak takut pada bayang-bayang. Tetapi induk semang seperti tak peduli pada kecilnya nyali. Di hati yang penuh kasih tahu pasti apa yang harus terjadi. Elang kecil bertumbuh melesat tangguh. Bumi tak lagi menakuti udara sudah menjadi telaga surga baginya.Â
Aku baru mengerti tinggi dan dalamnya kasih sosok bunda.Â
Pergi aku mengelana menciumi harum dupa nirwana. Mengelana aku memunguti sisa-sisa fatamurgana di batas cakrawala. Mengelana aku menukar mutiara peluhku yang belum sirna. Mengelana aku mengumpulkan recehan di saku celana. Sebab satu tekatku pulang membawa sepasang sandal jepit untuk emakku.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H