Berita-berita tentang penculikan anak saat ini sedang ramai di segala penjuru Indonesia. Ada berita fakta dan ada berita hoaks, keduanya bercampur aduk lalu menyebar di dunia maya dan dunia nyata. Salah satu berita penculikan yang menjadi perhatian publik beberapa waktu lalu adalah penculikan anak oleh pemulung di Jakarta. Selain itu ada juga penculikan anak di Makassar yang berujung pembunuhan. Belakangan ini viral berita penculikan pelajar yang ternyata hanyalah hoaks karangan pelajaran tersebut.
Di NTT, khususnya di Kabupaten Timor Tengah Selatan, persoalan penculikan anak juga marak berhembus di media sosial dan dari mulut ke mulut. Ada video beredar memperlihatkan seorang anak terikat di kolong tempat tidur dan orang pun mengira itu adalah penculikan anak padahal faktanya tidak. Ada juga postingan yang beredar tentang orang asing memaksa anak perempuan untuk menumpang dengannya namun anak itu menolak. Lalu orang pun mengaitkan dengan penculikan anak.
Masyarakat di Timor Tengah Selatan menyebut penculik anak sebagai "orang potong kepala" yang populer dengan sebutan OPK. Sebagian orang menarasikan OPK sebagai sosok yang menculik anak dan memotong/memenggal kepalanya. Katanya OPK menculik anak dengan obat bius lalu memasukkannya dalam karung. Narasi klasiknya bahwa potongan kepala untuk memperkuat bangunan pondasi jembatan baru.Â
Kisah OPK ini sudah ada sejak puluhan tahun lalu. Pada tahun 90-an saat saya masih kecil, kisah OPK ini sudah ada. Berita OPK ini hanya muncul musiman di saat tertentu, hilang dan muncul kembali. Di Timor Tengah Selatan, isu OPK biasanya muncul pada saat tanaman jagung di pekarangan atau kebun tumbuh tinggi seperti saat ini. Tanaman jagung yang tinggi dan rapat membuat orang menganggap bahwa OPK akan menyelinap di rimbunan jagung untuk menculik anak-anak.
Walaupun kabar penculikan anak oleh OPK sudah beredar selama puluhan tahun hingga sekarang, nyatanya tidak pernah ada satupun kejadian penculikan dan pemenggalan. Penculikan oleh OPK hanyalah hoaks belaka yang sudah legendaris.
Menurut saya, penculikan anak oleh OPK mungkin berkaitan dengan tradisi berburu dan memenggal kepala manusia (head hunting) pada zaman kerajaan dulu di Timor. Tradisi berburu kepala itu sebagai bagian dari perang dan ritual tertentu. Kebiasaan potong kepala manusia pada zaman dulu yang mungkin kemudian menjadi cerita horor dari para orang tua untuk menakut-nakuti anaknya. Para orang tua mungkin menggunakan cerita potong kepala untuk menakuti anaknya agar tidak bermain jauh dari rumah, dst. Ceritanya kemudian menurun dari generasi ke generasi.
Berita OPK ini membuat sebagian masyarakat memberi stereotipe atau label dan mencurigai orang tertentu sebagai penculik anak. Seseorang yang berambut gondrong, wajah sangar, postur besar, atau bertato, bisa membuat orang lain mencurigainya sebagai penculik anak.Â
Beberapa tahun lalu saya pernah gondrong dengan rambut sebahu. Suatu hari saat berjalan kaki ke rumah kerabat di kampung sebelah, anak-anak yang melihat saya pun lari tunggang-langgang untuk bersembunyi. Ada orang dewasa yang mengintip saya dari balik pintu dengan tatapan penuh curiga. Mereka mungkin curiga kalau saya adalah OPK karena berambut gondrong dan berpakaian serba hitam di tengah maraknya berita penculikan anak. Cerita tentang OPK ini rupanya membuat masyarakat sensitif terhadap orang asing dengan penampilan tertentu walaupun mereka orang baik.Â
Di tengah gencarnya kabar penculikan anak, para orang tua hendaknya lebih mengedukasi anaknya dalam menghadapi tindakan orang lain yang mengarah pada penculikan atau kejahatan lain. Lembaga-lembaga pendidikan juga kiranya mengedukasi para orang tua dan siswa menyangkut penculikan. Terkait penculikan anak, sebaiknya kita lebih cermat dalam menyebarkan berita agar tidak menebar ketakutan dari berita yang tidak pasti kebenarannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H