Mohon tunggu...
Imanuel laputarapanjang
Imanuel laputarapanjang Mohon Tunggu... Koki - menjadi seorang ilmuan

berbagi cerita di dalam hidup atau kita berbagi ilmu

Selanjutnya

Tutup

Nature

Pangan 2019: Revolusi Pangan

30 Oktober 2019   00:09 Diperbarui: 30 Oktober 2019   00:25 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash


Ketika berbicara masalah pangan tentunya tidak terlepas dari sektorpertanian yang merupakan kebutuhan primer umat manusia di dunia. Sektorpangan merupakan hal yang sangat penting sebagai pembahasan saat ini.

Sebelum masalah pangan urgen untuk dibicarakan, pada tahun 1945sebelum berakhirnya perang dunia (PD) II, penyelesaian konflik yang
berkecamuk diantara 3 benua, yakni: benua Afrika, Asia, dan Eropa.Merupakan hal yang sangat penting untuk dibicarakan demi mencari solusipenyelesaian pada saat itu. Betapa tidak, saat itu, konflik ini mengancamkeamanan jutaan umat manusia. Konflik tersebut juga mempengaruhihubungan kerjasama diantara berbagai Negara di belahan dunia. Setelah PD IItersebut usai, perang dan konflik bukan lagi dua hal yang harus ditakutimelaikan isu tradisional tersebut menjadi pelajaran berharga bagaimanabersikap untuk keduanya.

Persoalan tersebut kini tergantikan oleh persoalan krisis pangan yangmelanda dunia. Semakin bertambahnya populasi penduduk dunia otomatis
kebutuhan akan pangan juga semakin meningkat. Menjadikan setiap Negaraharus mampu menjaga ketersediaan pangan yang dimilikinya, agar terhindardari ancaman kelaparan yang akan menimpa penduduknya. Perkembanganyang ada saat ini, krisis pangan dan bahaya kelaparan sedang membayangidunia.

Jumlah kasus kekurangan pangan dan kelaparan tahun ini paling tinggisejak tahun 1970-an. FAO-UN (2009) memperkirakan sekitar 1,02 milyar jiwa
di seluruh dunia saat ini sedang mengalami kekurangan pangan dan kelaparan.

Kondisi yang paling parah terjadi di negara-negara Afrika dan Asia Selatan.Bahkan, menurut UN Population Fund (2000) memprediksi pada tahun 2050,
akan ada tambahan sekitar 2,32 milyar jiwa yang tersebar di seluruh dunia yangharus dipenuhi kebutuhan pangannya di bawah tekanan ancaman perubahaniklim yang semakin berat.118 Jumlah ini bukannya berkurang melainkan terusmeningkat dari tahun ke tahun. Sementara lahan untuk kebutuhan pangan yangada bukannya bertambah melainkan semakin berkurang karena terus digarapuntuk dijadikan infrastruktur baik perumahan maupun industri kedepannya.

Selain itu, untuk mendapatkan hasil pangan yang lebih baik juga harusmemperhatikan kualitas tanah, sedangkan beberapa hasil penelitian yang telahdilakukan bahwa lahan yang ada khususnya di Indonesia mengalami degradasi lahan sehingga menurunkan produktifitas pangan.

Ketika produktifitas pangan menurun tentunya berimbas pada persoalansosial, ekonomi, dan politik yang berkembang pada masyarakat. Hal ini
kemudian secara perlahan akan melahirkan ancaman terhadap global security.

Di Indonesia sendiri misalnya, ketika masalah pangan mencuat kepermukaandibarengi harga kebutuhan pokok termasuk beras dan gula yang terusmeningkat. Ini kemudian mehahirkan demonstrasi besar-besaran pada 1997yang menuntut penurunan harga 9 bahan pokok, dan menuntut turunyapemerintahan Soeharto yang berkuasa karena dianggap tidak mampumenyelesaikan persoalan sosial-ekonomi yang fundamental.

Tidak hanya di Indonesia, selain peningkatan harga pangan yangmeningkat, beberapa tahun terakhir ini perubahan iklim yang ekstrim juga
sering terjadi di beberapa Negara. Hal ini tentu saja berdampak pada kenaikanharga produk termasuk hasil pertanian. Melonjaknya harga hasil pertanian jelassaja menyengsarakan kaum petani dalam mendapatkan akses pangan. Selainitu, jika persoalan pangan terus mengalami keterpurukan. Hal yang ditakutkankemudian adalah bersaingnya Negara-negara di dunia dengan cara ekstrim ataumenghalalkan segala cara demi mendapatkan dan mempertahankan ketahananpangannya yang kemudian mengancam keamanan global. Walau ancamanakan naiknya harga pangan dunia telah dibahas oleh Organisasi Pangan danPertanian Dunia (FAO) di Roma pada 24 September 2010 lalu, hal ini tidak
serta menyelesaikan persoalan.

Dalam laporannya, FAO menyebutkan bahwa kenaikan harga pangantermasuk biji-bijian dunia telah mencapai 17 persen (38 poin dalam indeks
harga) dibandingkan dengan harga bulan Juni 2012. Harga jagung di tingkatinternasional juga telah meningkat sampai 23 persen. Bahkan, kenaikan hargajagung tercatat 46 persen jika dibandingkan dengan harga pada Mei 2012.

Kenaikan harga jagung masih akan terus berlangsung karena sekitar 42 persenjagung dunia dihasilkan oleh AS, terutama di daerah Midwest, yang kinibermasalah karena kekeringan hebat. Selain AS, kekeringan hebat disertaibencana kebakaran melanda Rusia. Mengakibatkan negara yang termasuksalah satu produsen gandum dunia tersebut menaikkan harga gandum sampai19 persen bahkan menghentikan ekspor gandumnya. Hal ini kemudianberdampak pada menurunnya stok gandum menjadi 179 juta ton sehinggavolume yang diperdagangkan pun akan menurun, yang akan mengerek hargagandum lebih tinggi lagi. Dengan ketergantungan 100 persen pada gandumimpor, dan total impor gandum Indonesia yang mencapai 6,6 juta ton (naik 6,2persen), kenaikan harga tepung terigu di dalam negeri akan memiliki berantai yang pasti berpengaruh terhadap kinerja sektor riil di Indonesia.219

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun