Sabar atine, saleh pikolahe, sareh tumindake. Kalimat itu saya baca di buku The Untold Strories Pak Harto yang baru – baru ini diterbitkan. Kalimat itu berasal dari Bahasa Jawa, bagi Anda yang bukan berasal dari Suku Jawa atau kurang mengerti Bahasa Jawa, saya terjemahkan secara kasar yang berarti “sabar hatinya, saleh kepribadiannya, bijaksana perilakunya”. Hal tersebut merupakan sebuah nilai budaya yang sangat mudah untuk diucapkan, akan tetapi sangat sulit untuk diterapkan bagi kita yang hidup di tengah suasana kota.
Ketika kita melihat situasi dan kondisi terkini, memang sangat sulit bagi kita untuk menjadi sabar. Ambil contoh, ketika kita dihina oleh orang lain kita pasti akan membalas orang tersebut. Ketika ada siswa yang mencontek, kita (apabila menjadi teman yang duduk di sampingnya ) biasanya akan ikut mencontek juga. Apabila ada rekan kerja kita yang melakukan KKN, kita pasti akan melakukan juga. Paling tidak nepotisme.
Ketika kita sibuk bekerja, terkadang kita lupa akan “tugas” yang kita dapatkan dari Tuhan kita untuk beribadah. Ketika kita diberikan jabatan, kita terkadang lupa untuk bertindak bijak. Nah, dalam hal ini nilai – nilai budaya berperan dalam kehidupan kita. Terkadang pula ketika kita sudah hidup di sebuah kota besar, kita menjadi terpengaruh dengan suasana hidup serba modern yang mementingkan diri sendiri. Coba kita bandingkan kehidupan pedesaan di kabupaten yang tidak terlalu terpengaruh dengan modernisasi dengan kehidupan di sebuah kota besar. Anda dapat melihat perbedaannya bukan ?
Latar pedesaan yang cenderung sosial dan penuh dengan nilai – nilai budaya dan latar perkotaan yang cenderung individualistis yang kehilangan nilai – nilai budaya, adalah dua hal yang bertolak belakang. Saya sendiri melihat kehidupan di pedesaan begitu ramah dan menyenangkan, berbeda sekali dengan kehidupan di perkotaan yang memiliki banyak kompleks dengan keamanan yang cukup ketat pula dimana para tetangga tidak saling mengenal.
Itu adalah sebuah gambaran kecil mengenai kehidupan di Indonesia terkini. Ketika kita perhatikan lebih lagi, hal tersebut pasti berimbas terhadap perilaku anak – anak. Kita dapat membandingkan perilaku anak yang hidup di perkotaan dan yang hidup di pedesaan. Perilaku mereka saling bertolak belakang. Di sini peran kurikulum pendidikan yang mengajarkan nilai budaya menjadi amat diperlukan sehingga dapat membuat anak – anak menjadi lebih berkarakter.
Mungkin di pedesaan para guru tidak terlalu perlu mengajarkan mengenai nilai – nilai budaya lagi karena lingkungan yang sudah sangat sosial dan berbudaya. Tapi bagaimana dengan di perkotaan ? Kurikulum yang saya dapatkan semasa sekolah pun tidak terkesan mengajarkan nilai – nilai budaya. Maka dari itu, dalam kurikulum pendidikan sekarang perlu ditekankan mengenai nilai – nilai kebudayaan. Karena kurikulum pendidikan Indonesia kini yang saya lihat hanya untuk ilmu semata, tetapi tidak untuk pendidikan karakter yang berbudaya. Mengutip slogan dari sebuah SMA negeri di Kota Bandung, “Knowledge is Power but Character is More”. Mari kita lebih mendekatkan diri kepada nilai – nilai budaya untuk menjadikan bangsa ini menjadi bangsa yang berkarakter.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H