Pemerintah pernah mengklaim bahwa tahun 2009 lalu kita mengalami surplus beras. Kabar menggembirakan tersebut juga sempat di sampaikan berulang kali oleh Presiden SBY bahwa Negara kita telah mengalami surplus beras. Kemudian hal senada juga di perkuat oleh Mentan Suswono, "Tahun ini, produksi padi nasional mencapai 68,83 juta ton, naik 5,83%. Bila dikonversi itu setara dengan 34-35 juta ton beras. Artinya, kita surplus lebih dari 3 juta ton," ujar Suswono dalam siaran persnya, Minggu ( 27/12/2009, http://m.detik.com). [caption id="attachment_201056" align="alignleft" width="300" caption="SBY mengklaim pemerintahannya mencapai surplus beras tahun ini"][/caption] [caption id="attachment_201057" align="alignleft" width="300" caption="Silang sengkartu data antara BPS dan Depertemen Pertanian masih terjadi sehingga data riil untuk membuktikan kebenaran surplus beras, masih belum reliable."][/caption] Dengan mencermati Buku Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi yang di terbitkan oleh BPS yang melaporkan produksi padi di angka ramalan II (ARAM II) sebanyak 64,40 juta ton GKG, meningkat sebanyak 4,07 juta ton atau 6, 75 %, dibandingkan tahun 2008 (Laporan BPS, 2010). Pernyataan Mentan Suswono (68,83 juta ton) dengan yang dilaporkan oleh BPS (lihat angka ramalan II 64,40 kg), terjadi perbedaan yang sangat nyata. Persoalannya adalah apakah ada perbedaaan antara data yang di dunakan oleh Deptan dengan BPS memang berbeda? Jika tetap sama, mengapa terjadi demikian? maka hal ini adalah sebuah tanggung jawab yang sangat serius harus di selesaikan oleh ke dua institusi tersebut. Selanjutnya kita lihat lagi, merujuk angka ramalan II (ARAM II) produksi padi tahun 2010, diperkirakan sebesar 65,15 juta ton naik 1,17 persen meningkat sebanyak 751,87 ribu ton (1,17 persen) dibandingkan tahun 2009. gabah kering giling, hal ini disetarakan 34 - 35 juta ton beras. Dengan tingkat konsumsi 32 juta ton. Artinya ada surplus 2 - 3 juta ton beras (Laporan Bulanan BPS, Juli 2010) Melihat data tersebut sangat jelas bahwa negara kita telah mengalami surplus beras bahkan Indonesia bisa melakukan ekspor beras tanpa perlu lagi melakukan impor beras. Jika dikaitkan hal tersebut, menurut laporan BPS (2010), data ekspor beras triwulan I sebanyak : 119.561 kg sedangkan impor sebanyak 81.629. 853 Kg. Ternyata angka-angka di laporan BPS itu adalah tidak sebanding dengan anggapan pemerintah bahwa Negara kita benar-benar telah surplus beras. Lihat saja pencapaian swasembada beras tahun 1984. Kerancuan tersebut menjadi isu hangat bagi sejumlah aktifis LSM/NGO yang ada di negeri ini, mereka menilai bahwa surplus beras yang telah di publikasikan secara luas oleh pemerintah itu telah dicapai dan sesuatu yang harus dipertanggung jawabkan keabsahannya. Mencermati hasil perhitungan produksi beras yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) tersebut, memberikan gambaran bahwa angka-angka tersebut selama ini sama sekali tidak mencerminkan angka riil produksi beras yang sebenarnya. Apa salahnya jika BPS mau mengintropeksi diri dan memperbaiki cara penghitungan produksi beras yang terbilang menyesatkan. Untuk itu BPS bisa memulai dengan mengubah cara perhitungan produksi berasnya yang belum berubah sejak 1980-an. Perlu ada perbaikan basis perhitungan dan luas panen. Jika cara penghitungan yang dilakukan BPS tersebut tidak berubah. Maka, akan terjadi angka produksi beras yang semu. Sangat mustahil jika angka produksi beras akan mengalami kenaikan terus, tanpa memperhatikan perubahan kondisi alam. Coba saja, BPS sebagai lembaga yang menangani urusan statistik yang independen pernah memperhitungkan berapa persen luas tanam yang rusak akibat bencana alam, seperti banjir, puso dsb? BPS lebih banyak memperhitungkan penambahan luas areal panen dari tahun ke tahun sebagai basis perhitungan. Tanpa menghitung faktor-faktor kegagagalan panen yang disebabkan oleh perubahan cuaca yang tidak menentu seperti anomali iklim dsb. Baiklah, kita akui secar bijak jumlah produksi beras tahun 2008 cukup, karena angka produksinya lebih besar ketimbang konsumsinya. Namun angka-angka yang di sajikan itu benar dan dapat dipertanggung jawabkan. Tetapi kalau angkanya salah. Kasian petani dan rakyat kita. Secara riil-nya begini,apabila angka ramalan (ARAM) di tahun mendatang yang di prediksi BPS adalah benar adanya, maka produksi beras harus pula menghasilkan data untuk memperkuat pernyatan surplus beras setidaknya bisa menyamai prestasi dari capaian itu. Kecerobohan dan silang-sengkarut data yang dikeluarkan oleh BPS bukan hal yang baru di negeri ini. Produksi beras tiap tahun dilaporkan selalu mengalami kenaikan. Berarti soal perberasan kita menganggap sudah surplus beras dengan cara otak-atik data (maaf saja jika tidak dimanipulasi). Namun, kenyataannya tidak pernah di buktikan secara nyata. Buktinya setelah saya mengamati data (BPS, 2010) tiap tahun kita masih impor beras. Pantas saja jika ada kontroversi soal impor beras, karena pasti pro dan kontra, sehingga menimbulkan resistensi serta penentangan terhadap keabsahan data impor yang tidak valid. Selanjutnya (Suwito, 2007) dan khudori 2008 , menyatakan bahwa data statistik produksi padi BPS saat ini tidak layak dijadikan landasan. Konsekwensi logisnya begini : statistik produksi padi yang dihasilkan dari perkalian komponen utama yakni luas panen padi kali rata-rata hasil per hektar. Sistem penghitungan itu kini disebut ”angka BPS”, hasil kompromi dua sistem berbeda: sistem yang digunakan Departemen Pertanian dan BPS. Kompromi dua sistem perhitungan sejak 1973 itu nyaris tanpa perbaikan berarti. Data produktivitas dikumpulkan melalui survei statistik pada petak sawah yang akan dipanen dengan metode probability sampling. Data dihasilkan dari ubinan ukuran 2,5 x 2,5 meter yang dikonversi ke satuan hektar. Hasil panen pada ubinan langsung ditimbang. Jadi, diterapkan sistem objective measurement. Separuh dari sampel ubinan ini dikerjakan mantri statistik BPS dan separuh sisanya dikerjakan mantri pertanian.Jadi, untuk memperoleh data yield rate, BPS hanya mengerjakan separuh dari seluruh sampel. Fakta dilapangan seharusnya pengambilan data luas panen dilakukan mantri tani dengan cara penaksiran melalui sistem blok pengairan, penggunaan bibit, dan pandangan mata (eye estimate) di sawah. Selanjutnya dari pengumpulan data luas panen ini tidak berdasarkan survei statistik, tidak ada objective measurement di lapangan. Dalam teori statistik data ini termasuk catatan administrasi sehingga akurasinya sulit diuji secara statistik. Data luas panen inilah biang overestimate data produksi padi saat ini. Menurut berbagai studi yang dilakukan BPS (, besarnya overestimate mencapai 17 persen (Sastrotaruno dan Maksum, 2002). Berdasarkan referensi diatas, artinya, jika tahun 2010 ini menurut taksiran BPS pada angka ramalan II produksi beras 68,15 juta ton, masih harus dikurangi 11,08 juta ton beras. Artinya ini bukan surplus, melainkan tahun ini Indonesia sesungguhnya malah minus beras 2,734 juta ton. Adanya kelebihan Laporan data produksi yang disebabkan oleh alih fungsi lahan (konversi lahan) seperti lahan pertanian menjadi kawasan real etate, kawasan industri, dan infrastruktur terus berlangsung secara terus menerus. Di sisi lain, pencetakan sawah baru hanya 35.000 ha per tahun. Anehnya, laporan luas panen tidak pernah menurun. Pada tahun dapat di lihat pada 1996 luas panen padi sawah/ladang dilaporkan 11,569 juta ha, lima tahun kemudian (2001) jadi 11,500 juta ha, dan tahun 2008 seluas 12,343 juta ha. Dibandingkan tahun 2007, tahun 2008 terjadi kenaikan luas panen 196.000 ha. Dari jumlah itu, seluas 77.000 ha di antaranya disumbang dari Jawa. Padahal, di Jawa praktis tak ada pencetakan lahan baru. Propinsi Sulawesi Selatan, sendiri belum pernah di lakukan pencetakan sawah baru. Namun, tiba-tiba pula menyatakan produksi berasnya surplus 2 juta ton, malah serentak di seluruh kabupaten di Sulsel ini. Data hanya alat dan sebagai angka yang digunakan. Masalahnya, jika data itu bias karena angka-angka dikumpulkan oleh mantra tani dilakukan dengan metode yang tidak reliable, lalu dijadikan ebagai parameter kebijakan, sehingga outputnya (hasil) tak hanya membingungkan tetapi sangat menyesatkan. Hal inilah yang menyengsarakan rakyat dalam yang berujung pada pembohongan publik. Bisa di ilustrasikan jika stok beras suatu saat menipis dan apakah masyarakat harus membeli beras Rp 10.000 per kg? Begitu banyak rakyat akan jatuh dalam kemiskinan dan kelaparan. Sudah saatnya BPS melakukan revisi atau perbaikan pengumpulan data luas panen berdasarkan objective measurement telah berkembang pesat. Saya sangat yakin Negara kita pastikan bisa melakukannya. Jika data statistik produksi padi itu dipakai terus, produksi berasnya hanya di atas kertas (semu), riil di lapangan tidak ada. Kalau memangn datanya cocok dengan berasnya, tak ada lagi penduduk miskin di negeri ini yang masih makan nasi aking dan kelaparan. Pemerintah melalui BPS tak usahlah bermalu-malu kucing untuk melakukan perubahan secara nyata mulai dari metode pengumpulandata di lapangan hingga faktor-faktor yang bisa menyebabkan kegagalan produksi akibat panen. Jika hal ini tidak dilakukan secara sungguh-sungguh maka pencitraan pemerintah semakin terpuruk. Hingga ulasan ini saya buat, saya masih terus mengikuti dan melakukan perhitungan secara cermat terkait laporan data BPS dan mencocokan dengan Data Deptan secara keseluruhan, agar pencapaian surplus beras benar-benar bisa di buktikan oleh rakyat, belum lagi ketika saya mengaitkan dengan kesejateraan petani yang seharusnya terjadi peningkatan. Dengan begitu, tak ada yang salah jika saya mengatakan apakah data ini sudah benar-benar riil untuk di pertanggung jawabkan?***. Salam Petani
Ulasan ini sengaja saya angkat, ketika kemarin(Rabu, 21 Juli 2010) saya berdiskusi bersama teman-teman pergiat LSM/NGO di Makassar, Sulsel membahas seputar persoalan "petani". Tiba-tiba saya melihat, ada spanduk ukuran besar terpajang di depan Kantor Badan Ketahanan Pangan Propinsi Sulawesi Selatan,Jl. Dr. Rartulangi Makassar.
Spanduk itu berisi :
"Propinsi Sulawesi Selatan Telah Mencapai Surplus Beras 2 juta ton ( 2x)", yang dilengkapi dengan foto Bapak Gubernur dan Wakil Gubernur serta didampingi Kepala Dinas Tanaman Pangan Dan Hortikultura, Kepala Badan Ketahanan Pangan - Propinsi Sulawesi Selatan.
***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI