[caption id="attachment_138073" align="aligncenter" width="300" caption="Profesi wartawan terlecehkan oleh kehadiran "][/caption]
Berangkat dari seorang jurnalis yang terbilang pemula disalah satu media nasional yang memang sudah mempunyai reputasi cukup terkenal khususnya dalam bidang agribisnis ternyata ceritanya penuh dengan suka maupun duka. Sukanya adalah ketika tugas peliputan hasil reportase itu setelah masuk di meja redaksi dan termuat lalu muncul di Laporan utama, namun dukanya adalah ketika dalam tugas peliputan itu menuai berbagai kendala baik itu teknis maupun non teknis dilapangan seperti menghubungi nara sumber terkait dengan topik liputan yang akan dilaporkan. seperti halnya ketika saya melakukan tugas peliputan di sebuah instansi pemerintah dilingkup pemprop sulsel.
Ceritanya begini, ketika saya masuk ke dalam instansi pemprop tersebut, sebelumnya saya sudah kontak beberapa narasumber terkait soal data populasi sapi yang baru-baru ini diturunkan dari hasil BPS Tahun 2011. Disaat saya melapor dan bertanya ke salah satu petugas keamanan yang berada disitu sebut saja Satpol PP, bahwa saya akan bertemu dengan Bapak ini, saya dari wartawan Trobos dengan memperlihatkan ID card saya yang tak pernah lepas dari kalungan leher saya dan seketika itu pula petugas satpol itu langsung mengatakan kepada saya, “Bapak benar wartawan?”, lha.., apa indentitas ini apa bapak kurang yakin? Ungkap saya dengan nada kesal sambil memperlihatkan kartu Id card saya.
Ternyata, setelah saya dipersilahkan masuk ke ruang tunggu, yang memang dipersiapkan untuk para tamu untuk menunggu bertemu dengan Kepala Dinas sesuai dengan antrian. Setelah saya duduk dan memperhatikan tamu-tamu tersebut, terlihat sepertinya sudah ada beberapa wartawan yang berada di dalam ruang tunggu itu. Tiba-tiba saja, salah seorang dari mereka bertanya kepada saya. Pak”, dari wartawan mana?”, spontan saya jawab dengan tegas, saya dari Trobos”. Kalau bapak wartawan juga ya, ..iya betul sekali, jawab bapak tua setengah baya itu.
Selanjutnya, bapak yang mengaku wartawan tadi mengatakan kepada saya, bahwa Tak ada gunanya meliput kalau ujung-ujungya duit”, itu sudah lagu lama dan sudah menjadi budaya para wartawan apalagi di kantor ini”. Paling terima amplop sudah itu beres” istilahnya ABS, asal bapak senang”.
Saya tak mengerti sebenarnya apa yang ia maksudkan dengan berkata seperti itu ke saya. Namun saya terus menganalisa apakah ini yang selama ini orang-orang katakan wartawan gadungan atau tak ubahnya “wartawan bodrex?”, pikir saya sambil menatap ke atas langit-langit kantor itu.
[caption id="attachment_138082" align="aligncenter" width="300" caption="wawancara dengan nara sumber Kepala Dinas, selasa (27/9) ( imansyah r)"][/caption] [caption id="attachment_138086" align="aligncenter" width="300" caption="Tugas liputan operasi pasar bersama Kadis Petanian sulsel (imansyah rukka)"][/caption] [caption id="attachment_138089" align="aligncenter" width="300" caption="Bersama salah seorang nara sumber (imansyah r)"][/caption]
Tak lama kemudian setelah para wartawan yang jumlahnya sekitar 2 orang itu dan satunya lagi entah dari mana dipersilahkan masuk oleh sekertaris yang berada duduk pas dekat pintu masuk ruang Kepala Dinas.
Sambil menunggu-nunggu, para wartawan itupun keluar. Namun saya sempat berpikir sejenak dengan apa yang mereka katakan tadi kepada saya. Buktinya hanya 10 menit mereka berada di dalam bertemu dengan kepala dinas, tak lama mereka keluar. “Lha, wartawan macam apa ini”? ketus saya dalam hati.
Selanjutnya giliran saya dipersilahkan masuk ke dalam oleh Ibu sekertaris kepala dinas. Ohya, Ibu apa ada buku tamu yang saya bisa isi sebagai tanda di kantor ini secara administrasi bahwa saya sebagai perwakilan Trobos yang ditugaskan di wilayah sulsel ini pernah datang ke kantor ini”. Ohya, silahkan diisi.
Sekarang giliran saya masuk ke dalam ruang kepala dinas, terlihat Pak Kadis sudah menunggu saya di lobi ruangannya yang begitu sejuk dan dilengkapi dengan AC. Saya pun langsung bersalaman lalu memperkenalkan diri saya sambil menyodori kartu nama saya yang telah diberikan oleh perusahaan beberapa bulan lalu.
Saya dari Majalah Trobos Pak, nama saya Imansyah Rukka, seperti yang Bapak lihat di kartu nama saya. Ohya Bapak, ini kartu identitas saya. Saya datang ke kantor bapak sesuai dengan janjian pertelepon kemarin dengan tepat waktu. Sekaligus maksud kedatangan saya adalah untuk meliput soal populasi ternak sapi di sulsel yang menurut data BPS 2011 ternyata justru mengalami kenaikan jumlah populasi”, sementara data sebelumnya yang dirilis oleh Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian RI mengatakan jumlah mengalami penurunan setelah dilakukan sensus ternak. Hanya itu saja dan beberapa topik terkait lainnya.” Jelas saya
Percakapan demi percakapan wawancara bersama bapak kepala dinas siang itu terasa begitu mesra, namun tidak lepas dari topik liputan. harmonisasi antara keduanya begitu saling menghargai. Yang satu membawa membawa nama pemerintah dan yang satu lagi dalam hal ini saya membawa kredibilitas saya sebagai seorang wartawan yang menjunjung tinggi profesionalitas kewartawanan.
Tiba-tiba saja pak kadis mengatakan kepada saya, jadilah wartawan yang benar-benar profesional sehingga menghasilka sebuah pemberitaan yang objektif. Jika ada hal-hal yang perlu anda publikasikan meski itu sifatnya temuan, silahkan saja selama itu objektif. Seperti halnya data populasi sapi yang anda tanyakan tadi, sekiranya itu tidak valid dan masih meragukan, ya disitu anda harus punya ketajaman dalam melihat sebuah masalah dan topik untuk anda laporkan di media anda. Seperti anda lihat tadi ada wartawan tiga orang masuk kesini, nah mereka itu juga menanyakan ke saya soal data itu, dan saya jawab bahwa untuk apa anda susah-susah meliput soal itu, media koran anda saja tidak punya. Kartu identitas anda saja dibuat sendiri dan kredibiltasnya meragukan. Itulah yang selalu jadi bahan pembicaraan dilingkup pemerintahan disini. Jelas Pak Kadis
Namun dalam diakhir percakapan tersebut, saya tegaskan kepada Bapak Kadis itu bahwa mereka lakukan semua itu karena ada yang memulai, disisi lain mungkin ada fakta atau semacam temuan yang mereka dapatkan lalu mereka jadikan tameng mencari kesalahan bapak selaku orang nomor satu di instansi ini sebagai penaggung jawab. Jadi ada bargaining antara kedua belah pihak akhirnya ujung-ujungnya atur damai. Jelas saya sambil canda
Yang terakhir, saya hanya memberikan sebuah perenungan kepada Pak kadis dengan berkata kepada beliau bahwa “bagaimanapun tugas yang diberikan kepada saya sebagai seorang wartawan yang ditugaskan sebagai koresponden di wilayah ini adalah sebuah tuntutan amanah dan komitmen moral yang tinggi, yang harus saya jalankan dengan penuh tanggung jawab. Karena jujur saya katakan bahwa, jika komitmen itu saya pegang dengan teguh, tanpa pernah terpengaruh oleh keadaan dalam bentuk apapun maka suatu saat saya akan menuai hasil dari komitmen dan konsistensi diri itu.
Tak lama kemudian saya pamit pulang, Bapak Kadis itupun menyambut saya dengan penuh keakraban, sambil salamansaya tegaskan kepada beliau dengan canda bahwa ‘Tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada bapak, maaf sekali lagi saya adalah wartawan profesional, saya bukan wartawan bodrex”. Ucap saya dengan senyum
Itulah sepenggal cerita saya yang sengaja saya angkat dan ulas dalam tulisan ini agar kedepannya ada pencerahan buat para kompasianer lainnya jika suatu benar-benar menjadi wartawan saat menghadapi berbagai persoalan dilapangan. Sebutan "wartawan bodrex" alias wartawan gadungan yang bertujuan memeras nara sumber sudah populer di masyarakat, khususnya sulsel. Namun, tidak banyak orang yang tahu mengapa disebut "bodrex" layaknya merek salah satu obat sakit kepala. Ternyata, keberadaan mereka disebut 'wartawan bodrex' karena kalau mendatangi narasumber sasarannya selalu beramai-ramai, seperti 'pasukan bodrex' di iklan obat sakit kepala,".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H