Membahas masalah pangan bukan sebatas persoalan produksi, distribusi dan akses. Pangan adalah persoalan hak. Hak setiap rakyat untuk hidup. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui komisi Hak Asasi Manusia bulan Februari 2004, mendefinisikan kedaulatan pangan adalah hak rakyat, komunitas-komunitas, dan negeri-negeri untuk menentukan sistem-sistem produksinya sendiri dalam lapangan pertanian, perikanan, pangan dan tanah, serta kebijakan-kebijakan lainnya yang secara ekologi, sosial, ekonomi dan kebudayaan sesuai dengan keunikan lokal daerah masing-masing. Mendefinisikan kedaulatan pangan berarti pengklaiman Negara atas kedaulatan pangan itu sendiri. Artinya Negara telah menyatakan bahwa kedaulatan pangan di negaranya telah terpenuhi. Yang menjadi persoalan adalah apakah itu sudah terwujud nyata di negeri kita yang terbilang “agraris” ini? Kita bisa lihat beberapa kasus kelaparan dan kekurangan gizi yang telah menjadi persoalan yang hingga saat ini belum terselesaikan oleh negara. Contoh kasus, data Dinas Kesehatan Kota Bogor menunjukkan 317 balita (bayi dibawah tiga tahun) di Bogor kekurangan gizi, hal ini akibat tidak mempunyai orang tua anak tersebut memenuhi kebutuhan pangan akibat kemiskinan, karena penghasilan yang tidak menentu seringkali anak – anak tersebut hanya makan 1 hari sekali (kompas, 17 April 2002). Kasus lain, di Kab. Kutai, Kalimantan Timur, yang dikenal dengan kabupaten kaya raya, ternyata banyak memiliki warga yang miskin, terutama didaerah pedalaman yang hanya menggantungkan hidupnya dengan makan 1 hari sekali (Kompas, 16 April 2002). Serta kasus di Kota Makassar Propinsi Sulawesi Selatan yang di kenal sebagai lumbung pangan, diberitakan seorang ibu yang tengah hamil 7 bulan dan anaknya yang berusia 5 tahun mati kelaparan di Makassar, sementara anaknya yang berumur 4 tahun dalam keadaan kritis di Rumah sakit karena kelaparan. Suaminya yang tukang becak juga dirawat di Rumah Sakit karena kelaparan.(liputan siang, SCTV dan Indosiar, 2 Maret 2008). Walaupun saat ini ancaman kelaparan itu belum begitu meluas, yang jelas Indonesia masih berada dalam status rawan pangan, bukan karena tidak adanya pangan tetapi lebih karena pangannya masih bergantung dari impor. Bisa kita lihat angka impor pangan dari tahun ketahun selalu mengalami kenaikan secara signifikan, akibat pertambahan penduduk yang terus meningkat, dan semakin menurunnya produktifitas lahan pertanian serta menurunnya minat petani untuk berproduksi akibat tidak adanya kebijakan dalam meningkatkan kesejahteraan petani penghasil pangan. (petani banyak hijrah ke kota mencari pekerjaan). Di Tahun 2001, data import bahan pangan seperti gandum mencapai 3,5 juta ton, jagung 1,2 juta ton, beras 2 juta ton, kedelai 1,2 juta ton, gula pasir 1,7 juta ton, yang keseluruhan devisa yang dihabiskan Rp. 16,62 triliyun, ditambah import buah – buahan sebanyak Rp. 900 milyar (Kompas, 16 Oktober 2001). Fakta ini menunjukkan sebuah ironisasi, yang mana selama ini negeri yang kita kenal dengan negeri agraris yang pernah mencapai Swasembada pangan tahun 1984, bisa menjadi Negara yang produksi pangannya bergantung pada impor. Melihat kenyataan tersebut, bahwa kasus kelaparan merupakan sebuah bentuk penindasan dan pengekangan terhadap hak rakyat atas pangan itu sendiri yang masih berlangsung di mana-mana bahkan semakin buruk di negeri ini. PBB melalui badannya FAO memperkenalkan istilah “ketahanan pangan” dengan harapan adanya persediaan pangan setiap waktu, dengan itu semua orang dapat mengaksesnya secara bebas baik dari segi kualitas, kuantitas dan jenis zat-zat gizi yang mencukupi serta dapat diterima secara sosal dan budaya. Namun dalam praktiknya konsep FAO ini menuai kontroversi oleh pegiat-pegiat LSM/NGO di seluruh belahan dunia, bahwasanya konsep tersebut sama sekali tidak mempertimbangkan kemampuan sebuah Negara untuk memproduksi dan mendistribusi pangan utama secara adil kepada rakyatnya. Dan juga juga mengabaikan realita di mana semakin meluas dan limpah ruahnya ekspor produk pertanian murah serta bersubsidi tinggi ke negara-negara terbelakang. Praktek ini dibiarkan bahkan didorong atas nama perdagangan bebas yang disokong penuh oleh negara-negara maju. Ketahanan pangan tidak lebih dari retorika dan wacana belaka dari institusi-institusi pemerintah dan Negara-negara maju yang iukut andil didalam perumusan konsep tersebut. Sementara implementasi pelaksanaan dan tanggungjawabnya untuk mewujudkan ketahanan pangan itu sendiri telah di “ejawantahkan” secara lain yakni ketahanan pangan yang seharusnya menjadi urusan negara menjadi urusan mekanisme pasar. Lihat saja peran Bulog di negeri kita, sebagai badan uang bisa menjamin ketersediaan pangan dengan stabilisasi harga menjadi tak terfungsikan dengan maksimal. [caption id="attachment_198385" align="aligncenter" width="234" caption="Kasus kelaparan yang terjadi di negeri ini adalah merupakan bentuk kegagalan pemerintah dalam mewujudkan kedaulatan pangan"][/caption] [caption id="attachment_198381" align="aligncenter" width="300" caption="Panen raya hanyalah sebagai simbol ketahanan pangan, padahal ketahanan pangan mustahil tercapai jika kedaulatan hak atas pangan belum terpenuhi"][/caption] Terkait dengan hal tersebut isu kedaualatan pangan sangat di pengaruhi dengan adanya semacam sinyal dari kekuatan asing dalam mekanisme pasar internasional seperti “neoliberal”. Hal ini sangat jelas memberikan imbas yang cukup kuat pada institusi terkait yang berurusan dengan pangan di negeri ini. pengaruh tersebut tidak lepas dari peran lembaga-lembaga internasional yang sengaja ikut dengan dalih mendukung konsep ketahanan pangan sebagai langkah kesepakatan bersama, antara lain IMF, World Bank (WB), dan World Trade Organization (WTO). Namun hubungan kerjasama anatar IMF dengan Negara kita telah berakhir beberapa waktu lalu. Konsep atau format ketahanan pangan inilah yang pada akhirnya hanya menguntungkan negara-negara dan perusahaan-perusahaan korporasi yang terlibat secara langsung dalam perdagangan dan investasi pangan juga agribisnis. Sasaran mereka lebih fokus pada kekuatan industri penghasil sarana produksi pertanian (saprodi) dan kekuatan jaringan distribusi pangan. Perusahaan korporasi yang sangat kuat itu antara lain : Syngenta, DuPont, Monsanto dan Novartis. Korporasi ini dengan segala strateginya memonopolinya mata rantai atau tataniaga perdagangan input dan produk pertanian (supply chain) dan memenuhi semua kebutuhan petani ke dalam sistem satu kesatuan agribisnia (agribusiness_intergrated) yang mengakibatkan petani semakin bergatung. Salah satu yang teknologinya yang dikenal transgenic-nya (teknologi yang mematikan sumber daya hayati) serta didukung dengan kekuatan modal yang sangat kuat. Trans-National Corporations (TNCs) adalah salah satu korporasi yang telah berhasil mempengaruhi regulasi internasional melalui forum WTO yang mengesahkan hak paten dan Hak Kekayaan Intelektual (HaKI) di sektor pertanian. Dengan begitu mereka semakin memberikan ketergantungan yang sangat besar kepada seluruh petani di dunia demi keuntungan yang besar. Belum lagi dengan strategi kebijakan neoliberal yang merusak kedaulatan pangan karena lebih mementingkan perdagangan internasional daripada hak-hak rakyat atas pangan. Kaum tani di pedesaan telah membuktikan bahwa kebijakan-kebijakan neoliberal ini tidak dapat berbuat apa-apa untuk mengurangi kelaparan di dunia. Sekalipun pernyataan pemerintah di berbagai negara dan organisasi-organisasi seperti FAO berusaha mencari solusi dengan kondisi memprihatinkan dunia itu. tetap saja “neoliberal” telah menorehkan sejarah sebagai “cacatan hitam” di mana 105 dari 149 negara miskin dunia ketiga adalah pengimpor pangan bersih, artinya memberikan jawaban bahwa negara-negara tersebut tidak mempunyai kemampuan yang memadai untuk memproduksi pangannya sendiri. Semua kebijakan-kebijakan tersebut malah justru memberikan ketergantungan yang besar bagi rakyat tehadap produk-produk impor agribsinis dengan memperluas jaringan korporasi dunia atas produk pertanian. Sehingga mengakibatkan terjadinya penurunan produktifitas lahan pertanian yang berimbas pada kerusakan ekosistem lingkungan dan hilangnya berbagai kearifan lokal budaya yang ada di negeri kita. Itulah sekelumit tentang Kedaulatan pangan yang terjadi di negeri agraris ini yang masih menjadi “macan kertas” baik sacara global maupun nasional. Ketahanan pangan dalam hal ini bagi sebagian orang atau pengambil kebijakan masih dipahami secara sempit. Padahal memahami kedaulatan pangan adalah sangatlah penting khususnya bisa di jadikan sebagai sebuah konsep perubahan ke depan dalam menentukan kebijakan atau platform kebijakan pertanian dan pangan. Sehingga ketahanan pangan bukan hanya dipandang sebatas soal produksi dan konsumsi saja namun lebih dari itu sebagai sebuah bentuk pemenuhan akan hak asasi manusia atas pangan tanpa ada campur tangan dari pihak luar (asing). Kedaulatan pangan sangat penting sebagai hak asasi manusia yang paling mendasar dalam kehidupan seluruh rakyat dan bagaimana mendorong pengejawantahan hak-hak tersebut ke dalam konteks berbangsa dan bernegara.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H