Tak tahu, mengapa
Tatkala merenungi langit senja,
Aku teringat untaian kata-kata yang pernah kuungkapkan pada seorang pemuda petani di Desa itu,
“Saat senja merah merona mempesona, saat itu pula getar Ke-Ilahian selalu ingin hidup selamanya..”
Pahamkah Kau sobatku, jika sastra yang kungkapkan itu terbetik bagaikan peribahasa kesejatian seorang manusia yang selama ini selalu merindukan Sang Penciptanya.
[caption id="attachment_381078" align="aligncenter" width="300" caption="Suatu senja merona di kaki bukit Sapa Bintoeng, Kab. Bantaeng"][/caption]
Aku bukan apa-apa, bukan siapa-siapa ketika menatap Maha Cinta-Mu", ungkapku dalam hati ketika memandangi senja itu.
Dan terkadang, ketika kita tak mampu masuk dan berada dalam singgasanaNya,
bukan berarti kita tak bisa menjadi bagian tak terpisahkan dariNya namun kita berdamai dengan kenyataan
sementara yang lain akan bilang,
“Tataplah senja itu apa adanya, bukan apa yang seharusnya..”
mungkin yang sebenarnya terjadi bahwa :
tiap masa menentukan senjanya sendiri
Namun di akhir-akhir ini
orang mungkin terlalu tak perduli untuk sekadar mengingat kebesaran Ilhai saat senja tiba
atau sebaliknya, mereka akan bilang,
tak ada kata yang pantas kuungkapkan selain senja telah memudar, esok tak tahu mengapa. Entahlah.