[caption id="attachment_226115" align="alignleft" width="259" caption="Esensi puasa merupakan bentuk manifestasi laku dari seorang petani dalam bercocok tanam"][/caption]
Biasanya, Daeng Siama setelah makan sahur ia bergegas menuju sawahnya yang ia sewa beberapa waktu lalu. Cukup bisa dipahami, Dg. Siama begitu sapaan akrabnya tidak lagi mempunyai lahan yang dikelola untuk bercocok tanam karena telah di beli secara paksa oleh Pemerintah Daerah setempat untuk di alih fungsikan sebagai lapangan golf. Mau tak mau kondisi seperti itu yang menuntut Dg. Siama harus tabah dan sabar. Mau bagaimana lagi, hanya kekuatan kesabaran yakni keikhlasan yang bisa memberikan sebuah jalan keluar untuk menemukan makna hakiki dalam kehidupannya sebagai petani. Kebetulan di bulan suci Ramadhan, dimana seluruh umat muslim di dunia ini melaksanakan ibadah puasa.
Momentum puasa inilah yang harus dimanfaatkan oleh Dg. Siama dan keluarganya serta para kaum tani yang ada di desanya untuk menemukan esensi puasa dalam aktifitasnya sebagai petani yang tidak lepas dari interaksi yang ada di sekelilingnya. Apa yang selama ini menjebak petani dengan berbagai logika yang menyesatkan mereka bisa di halau dan di bersihkan dengan metode puasa khususnya di bulan ramadhan ini. Contoh yang paling konkret kita temui di lapangan, yakni petani terkooptasi oleh paradigma bahwa penggunaan pupuk urea dan berbagai asupan luar lainnya (asupan bahan kimia), dapat meningkatkan produktifitas lahan persawahan mereka. Begitupula dengan mengantisipasi berbagai hama seperti tikus, wereng, dsb. Tindakan seperti itulah semuanya yang membentuk pola pikir dan sikap petani pada umumnya sama sekali tidak menjunjung tinggi etika dan estetika alam.
Belum lagi dengan kebiasaan-kebiasaan petani yang sudah mereka tinggalkan seperti doa sebelum menanam dan begitu pula pada saat panen hingga selesai dalam becocok tanam. Adalah merupakan salah satu warisan leluhur mereka yang turun temurun sebagai sebuah kearifan lokal yang telah terdagradasi oleh berbagai kebijakan pemerintah yang tidak tepat. Padahal jika hal tersebut di kaitkan dengan metode puasa adalah satu kesatuan esensi dari puasa itu sendiri.
Tepat sekali, jika Daeng Siama di bulan suci ramadhan ini ia lakukan dengan penuh makna. Dengan segala kerendahannya terlihat ketika secara langsung saya bertemu dengannya di sela-sela ia berisitirahat di salah satu rumah kecil di areal sawahnya.
"Assalamu alaikum Daeng Siama..." Salam saya kepadanya dengan lantang.
"Waalaikum salam, pak iman", jawab Daeng Siama dengan lembut.
"Daeng Siama tetap melaksanakan puasa ya? Meskipun dalam berusaha tani". Oh ya, tidak merasa lelah, lapar dan haus, Daeng..? Tanya saya.
“Pak Iman, apa yang kita tanyakan itu.., sangat bagus". Jadi, puasa ini adalah bukan hanya sekedar menahan haus dan lapar, namun lebih dari itu ada esensi yang paling dalam yang kita capai dalam puasa itu sendiri. Apa yang biasa kita lakukan dengan bercocok tanam, dengan berangan-angan bahwa padi dan hasil kebun saya harus berproduksi dengan sangat tinggi lalu dengan begitu kita paksakan dengan memberikan pupuk kimia yang berlebihan, hama dan berbagai tanaman kita babat secara keji dengan racun kimia. Begitu pula saat persawahan membutuhkan air irigasi, tanpa kita sadari kita menguasai irigasi itu sehingga petani lainnya tidak kebagian”.
"Sikap dan sifat seperti itu bagi saya haruslah kita temukan dalam esensi puasa saat ini. Dengan Haqqul yakin semua itu akan ditepis dengan berpuasa".
“Esensi puasa itu adalah merupakan totalitas makna puasa yang sebenarnya”. “Seperti yang di teladankan oleh Rasulullah SAW 1500 tahun yang lalu”. “Ketika saya sebagai seorang petani kecil di desa ini yang hanya menggantungkan hidup dari bercocok tanam, bagi saya apa yang di contohkan oleh Nabi Besar kita adalah sangat relevan dengan metode puasa yang di lakukan oleh kaum tani”. Berpuasa bagi kaum tani adalah sebuah pencarian dalam perjalanan seorang manusia menemukan benih kemuliaan yang ada dalam dirinya. Lahan, tanah, tanaman dan hewan adalah sumber dari segala kehidupan yang intinya ada dalam diri manusia yang hakiki. Itulah benih kemuliaan”.