[caption id="attachment_130655" align="alignleft" width="300" caption="Sufi selalu digambarkan sebagai seorang kekasih Allah yang terus memberikan keseimbangan di alam semesta ini (gambar zainurahman)"][/caption] “Alam semesta itu tak akan pernah dusta dengan apa yang manusia perbuat di muka bumi ini. Ia selalu menunggu apa yang dilakukan manusia baik itu positif maupun perbuatan yang negatif sekalipun. Ketika manusia senantiasa berbuat baik kepada sesamanya dan sering menghormati, menghargai serta menjunjung etika alam dengan tinggi, maka alam semesta pun memberikan sesuatu yang baik kepada manusia itu. Ada hubungan timbal balik yang di berikan oleh alam kepada kita. Namun tentunya kita harus paham benar siapa sebenarnya diri kita sebenarnya. Seperti yang telah di jelaskan di tulisan terdahulu tentang sejauhmana manusia terlebih dahulu mengenal dirinya secara utuh”. Jelas Ki Semar panjang lebar.
Wejangan tersebut terdengar begitu syahdu disampaikan oleh beliau dalam sebuah sarasehan di malam hari yang diadakan di padepokannya. Kami tak asal mendengarkan apa yang diucapkan Ki Semar itu. Namun lebih dari itu seperti ada sebuah energi yang memberikan sebuah keheningan di malam itu. Kebetulan yang hadir dalam sarasehan itu adalah tidak lain murid atau pengikut setia Ki Semar yang memang selalu menyempatkan hadir seminggu sekali di padepokan tersebut. Diantaranya ada yang bernama Saya sendiri, Mas Tarmo, Pak Yamin, Ateng, Pak Man, Pak Slamet, Pak Medi, dan juga yang baru bergabung yakni Mas Asep.
Mereka berasal dari berbagai latar balakang tanpa pernah memandang status sosial. “Saya tidak pernah melihat dari segi status sosial dan latar balakangnya”, semua adalah sama”, disini saya sudah bekali sejauh mana mereka memahami, mengayati dan mengamalkan serta membuktikan bahwa mereka itu adalah manusia mulia”.Bagaimana bisa menemukan kemuliaan itu? Nah, semua ada aturan mainnya yang harus mereka jalankan”. Sebelumnya ada semacam pepacak dalam istilah jawa adalah aturan yang harus mereka pahami sebelum menjalankan apa yang mereka praktikkan sehari-hari”.
Sebab, inilah sebuah pemahaman warisan kuno yang sangat langkah di alam semesta ini. Dan saat sekarang ini. Sebuah ajaran kebenaran Jawa yang ketika ditarik sebuah garus lurus adalah sama halnya dengan apa yang di ajarkan oleh junjungan Nabi Besar kita Muhammad SAW. Tinggal bagaimana bisa mengkaji dengan seksama “kawruh” ini. Bahwa ajaran kebenaran Jawa itu talah sirna dan luntur tergerus oleh peradaban modern. Dan hanya manusia-manusia terpilih oleh alam yang bisa melanjutkan warisan ini dengan tetap menjalankan secara konsisten dan penuh komitmen serta tanggung jawab.
Sesungguhnya sedikit amalan akan berfaedah bila disertai dengan ilmu tentang Allah, dan banyak amalan tidak akan bermanfaat bila disertai dengan kejahilan tentang Allah “.
Merujuk hadits tersebut diatas, jujur saya mengakui, menjalani kawruh (pemahaman) ini tidak semudah membalikkan telapak tangan setelah diberikan dasar-dasar pelajaran seputar pemahaman manusia. Semua ada prosesnya. Namun, bagi saya secara pribadi karena memang pemahaman ini sangatlah pribadi bahwa ada sebuah kebahagiaan lahir maupun batin yang dirasakan, sama halnya yang di alami dan dirasakan oleh teman-teman punakawan lainnya.
Menjadi Sufi
Tidaklah mudah untuk menjadi sufi. Karena logikanya bahwa makin tinggi keatas maka angin atau badai yang berhembus semakin kencang. Begitulah filosofis seorang sufi yang selalu hidup dalam kehidupan di jalan Tuhannya. Maaf”, jangan dikira bahwa belajar kawruh menuju jalan sufi seperti ini selalu merasakan enak-enaknya saja?”. Sekali lagi bahwa jalan menuju Tuhan itu penuh tanjakan terjal dan berliku, bahkan siap dicaci di maki dicela dan diremehkan jika kita sudah berada dalam sebuah ujian Tuhan. Mental yang harus dipersiapkan.
Lihat saja contoh realitas dari perjalanan suci seorang Ki Semar, Sang Pembina dan Guru itu. Pencapaian spiritualnya melalui perjalanan yang sangat panjang dan berliku bahkan sangat berat. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa alam semesta tak pernah dusta dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang yang selalu berbuat kebaikan dan menjunjung tinggi etika alam. Nah, seperti itulah sosok Ki Semar. Bukan saya memuji dan menyanjung beliau. Beliaupun tak pernah ingin disanjung apalagi dikultuskan. Tetapi apa yang dilakoninya adalah sebuah wujud nyata dari apa yang ia ucapkan dan ajarkan kepada saya dan teman-teman sepemahaman.
Akhlak dan keikhlasannya dalam memberikan wejangan kepada saya dan kepada siapapun terpancar jelas terasa masuk kedalam jiwa saya yang kering kerontang dan haus akan kesejukan. Kerinduan ingin mengenal Sang Ilahi lebih dekat lagi. Saking khusyuknya terasa aneh pada saat sarasehan malam itu, tak ada yang ngantuk sedikitpun. Sebenarnya beliau itu memberikan pemahaman tentang Ilmu kebenaran kepada manusia. Semua dimulai dari dirisendiri dan harus dinyatakan sendiri. “ora ono ora percoyo”. Artinya tidak nyata tak usah percaya”.
Bagaimana kita bisa menemukan kemuliaan jika kita tidak memperlajari secara mendalam serta paham betul bahwa semua manusia itu mempunyai benih kemuliaan yang telah dberikan oleh Tuhan. Disinilah letak manusia dibandingkan mahkluk lainnya di muka bumi ini. Makhluk derajat tertinggi yang berada di alam semesta ini. Namun terkadang manusia itu sendiri terhalangi untuk bisa sampai ke pemahaman ini karena tertutupi oleh ego atau nafsunya sendiri. Sungguh beruntunglah manusia-manusia jika bisa diberikan hidayah untuk bisa sampai dalam pemahaman ini. sebaliknya sungguh merugilah jika kita tak sempat bisa mengenal diri kita sesungguhnya melalui pemahaman ini.
Tuhan itu maha tahu, apa yang kita kerjakan. Jika kita senantiasa selalu membersihkan diri kita dengan pensucian diri yakni dengan perbanyak zikir atau istigfar. Atau apalah yang biasa kita lakukan dengan menyebut Asma Allah dengan kebesaranNya untuk menuntun diri kita secara totalitas mencapai ketenangan jiwa dan batin bersama Allah maka itulah sebuah perjalanan spiritual suci. Mungkin keseharian kita lebih banyak mengurus dunia yang ramai ini dan sering melupakan Tuhan yang telah memberikan kita hidup yang penuh nikmat, mulai dari bangun tidur disaat matahari terbit, kita menghirup udara segar dipagi hari, minum kopi, sarapan, makan siang, bekerja, dan sebagaianya. Namun ada yang terlupakan bahwa sesungguhnya Tuhanlah yang telah memberikan semua kenikmatan itu.
Mengapa mesti untuk tidak mengingatnya? Nah, inilah melalui kawruh ini, pesan-pesan serta petuah yang disampaikan oleh beliau (Ki Semar) dalam kisahnya memberikan sebuah tuntunan perjalanan kepada manusia untuk mengenal dirinya secara utuh. Sebab banyak jalan menuju ke roma, banyak pula jalan menuju sufi.
Maka keluarlah sebuah hadits Nabi :
Man `arafa nafsahu faqad `arafa rabbahu:
Siapa yang mengenal dirinya makan ia akan mengenal Tuhannya.
Man `arafa rabbahu faqad `arafa nafsahu:
Siapa yang mengenal Tuhannya maka ia akan mengenal dirinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H