“Desa sekarang luar biasa.” Kata Jack pagi itu. Waktu ia berkunjung ke Djoglo (sebenarnya hanya teras rumah), tempat setiap pagi saya menjalankan upacara baca koran.
Saya menurunkan halaman koran yang saya baca menggunakan suryokonto. Jack, oleh anak-anak muda di kampung ini dipanggil Sam Jack, nama aslinya sebenarnya Joko. Putra bungsu tetangga depan rumah.
Jack belum sebulan pulang kembali ke orang tuanya. Sebelumnya, bertahun-tahun ia mengembara, entah kemana. Katika pulang, ia masih tetap joko, joko thir alias belum ada gadis yang berhasil ia kait. Mungkin, karena kesukaannya mengembara itu tak ada anak perempuan yang berani dikawininya. Mungkin.
“Apanya yang luar biasa? Dari dulu juga begini-begini saja.” Saya memancingnya. Saya suka pikiranya, khas anak muda yang kritis.
“Wah, Bapak ini. Tiap hari baca koran tapi tak tahu perkembangan. Hiiii..” Katanya sambil menyeringai.
Ya kan? Keluar ciri mudanya? Saya hanya tersenyum sambil memandang matanya yang masih kusut.
Lantas ia berapi-api dengan gaya deklamasinya. Negara sekarang telah memberi pengakuan kepada desa sepenuh-penuhnya. Senyata-nyatanya. Sudah tidak lagi ditempelkan pada Kabupaten. Negara telah mengaturnya dengan Undang-undang tersendiri, bernama Undang-undang Desa. Negara mengakuinya dengan memberi kewenangan untuk mengatur dan mengelola bidang-bidang yang bersekala desa. Negara tidak hanya memberikan pengaturan atas kewenangan tetapi juga diberi duit.
“Apa tidak luar biasa.” Katanya menutup orasi.
Saya hanya manggut-manggut, antara mengagumi dan bertanya-tanya, seluarbiasa itukah Jack menterjemahkan desa sekarang?
“Satu milyar Pak, setahun. Coba kita belikan kerupuk, dan kita rentengi. Keliling desa ini tak akan muat. Haha....” Jack ngakak.
Saya juga ikut tertawa pelan. Apalagi dibelikan dawet, dapat dipakai renang orang sekampung. Haha.