Lebaran tiba. Dunia meledak dengan pakaian baru, lalu lalang orang berkunjung, suara petasan dan bau mesiu. Aku bergegas mengunjungi nenek, minta maaf dan mendoakannya agar bahagia dalam setiap kesendiriaannya. Aku ingin makan ketupat bersamanya dengan sayur opor kesukaan kami berdua.
Sepanjang hidup, aku selalu berlebaran bersama nenek. Dialah satu-satunya orang tua yang menjadi pusaraku. Dia mengasihiku selayaknya orang tua mengasihi anak-anaknya. Aku menyayanginya semestinya seorang anak berbakti kepada orang tuanya.
Sepanjang malam bulan puasa kami senantiasa semeja menyantap makan sahur seadanya yang kami punya. Nenek memberikan porsi nasi yang lebih di piringku, sementara ia cukup segengam. Kalaupu kemudian, hanya ada seiris tempe goreng, ia menaburkan garam diatas nasinya. “Agar puasamu kuat.” Katanya. Dan, aku menikmatinya, kenikmatan yang luar biasa ini. Sehabis itu kami bergantian memimpin doa puasa.
Pada penghujung puasa aku mendapat hadiah sepasang pakaian baru darinya. Aku selalu tidak pernah tahu kapan dia memperoleh pakaian itu. Ia membeli di pasar mana aku juga tidak pernah memperoleh penjelasan. Aku tidak tahu bagaimana ia menentukan ukuran bajuku. Sering kali aku memperoleh baju yang kebesaran. Katanya, aku akan lekas besar, sehingga pakaian itu bisa berumur panjang. Tapi, ketika baju itu aku pakai, lengannya lebih panjang dari lenganku. Meskipun begitu, aku bahagia. Aku bergembira.
Pada setiap sore hari menjelang lebaran nenek masak opor ayam. Ia menyembelih sendiri ayam peliharaannya. Aku sangat lahap makan rempela, usus, dan hati yang digoreng kering. Paginya, ketika akan berangkat sholad id di kampung, kami makan opor dulu. Sayur ayam ini cukup banyak. Nenek menyuruhku untuk membagikan sebagian kepada tetangga.
“Kamu keliling Le, ke tetanga-tetangga, minta maaf pada mereka.” Perintahnya. Aku menurutinya keliling kampung, sementara nenek tetap di rumah. Tak pantas kalau orang tua yang mengunjungi yang muda untuk minta maaf. Aku selalu riang kalau sudah pulang, karena sakuku menggembung uang pemberian tetangga.
Aku selalu bersama nenek setiap lebaran, karena memang sepanjang hidup aku bersama nenek.
***
Sejak usia satu tahun, aku diserahkan ibuku kepada nenek. Saat itu kakek masih hidup. Kata nenek, ibu pergi merantau ke luar negeri. Katanya kerja. Ibu masih mengabari keberadaannya ketika lebaran pertama setelah ia meninggalkan kami. Ia mengirimiku pakaian. Baju dan celana yang paling bagus yang pernah aku miliki.
Pada waktu lebaran berikutnya, ibu hanya mengabari tempatnya bekerja. Semenjak aku usia lima tahun, ibuku sudah tidak ada kabarnya sama sekali. Kami begitu meindukannya. Nenek sering kali termangu di beranda, aku tak bertanya. Tapi aku mengira ia sepertiku menunggu kabar tentang ibu. Harapan itu ditenggelamkan oleh suara takbir lebaran. Aku terhibur kemeriahan lebaran di kampung.
Usia kelima tahunku itu, seperti terjadi perampasan-perampasan pada orang-orang yang melindungiku. Sebulan setelah lebaran kakek meninggalkan kami semua. Saat itu aku menangis melihat nenek terisak di bawah persemayaman jenasah kakek. Aku kira nenek juga membayangkan bagaimana hidup kami nanti tanpa kakek, setelah kami merasa jejak ibuku terhapus oleh waktu.