“Asem!”
Sepagi ini Sam Jack sudah menyemprotkan umpatan di depan hidung saya. Saya turunkan lembaran koran dan suryokontho dalam genggaman. Ia duduk di kursi, di hadapan saya. Sebuah dokumen dalam maf ia taruh di meja. Dan, bibir hitamnya menyeruput kopi yang dibawa dari rumahnya.
“Kopi madu.” Katamya disela-sela menyeruput minuman hitam itu.
“Kopi mandu kan terasa manis ada wangi manisnya?” Tanya saya, agak heran.
“Rasanya luar biasa. Apalagi madunya diberi dengan rasa ikhlas. Hehe..”
Beberapa waktu lalu Sam Jack memang saya beri sebotol madu kembang kopi (tawonnya ditangkar di perkebunan kopi).
“Lhah! Yang asem apa?” Tanya saya masih merasakan semprotannya.
“Nah, itu! Beberapa waktu lalu saya bertemu seseorang, orang desa sebelah, di sebuah warung kopi. Mendengar ceritanya, ia seniman besar.” Sam Jack membuka ceritanya.
Cerita selanjutnya, seperti biasanya, Sam Jack menyampaikan dengan penuh gelora. Kebetulan ia mampir di warung kopi. Disana sudah ada orang setengah baya yang menyampaikan pengalamannya keliling kota. Orang itu menyebut nama-nama seniman yang ada di kota itu. Sekaigus kemashuran mereka.
Sam Jack tidak terlalu paham nama-nama yang disebut itu. Ketika Sam Jack ikut mendengarkan cerita orang itu, ia makin menggambarkan ke-wah-an perkembangan kesenian di kota itu. Juga bangunan gedung keseniannya. Al-hasil, menurut orang itu, senimannya hidup berkecukupan.
Sam Jack memandang dengan seksama, mungkin terkesima, kepada orang itu. Gayanya, pakaiannya, rambutnya, khas seniman. Orang itu makin mengembangkan ceritanya, tentang pergaulannya dengan pejabat-pejabat. Tentang kepala daerah yang perhatian kepada aktifitas seniman. Dalam hati, Sam Jack berdecak kagum.