[caption caption="Foto: Cahaya Jingga di Pagi Hari"]
[/caption]Pagi itu, ketika matahari masih jingga di ujung puting bukit. Saat jalanan mengkilap oleh sisa hujan malam. Kaki-kaki mungil berlompatan mengejar jam sekolah. Dan ibu-ibu mengerumuni tukang sayur yang suaranya renyah tentang harga-harga bahan pernik dapur. Tiba-tiba tersirap oleh suara Mak Gendut yang hendak beli cabai.
“Telinga!” lengkingnya.
Aku melongok dari jendela yang tertutp gorden separuh badan.
Ia melompat seperti pentalan balon karet dari pinggir selokan. Ibu-ibu dan tukang sayur menoleh serentak, kompak, seperti pasukan yang mendapat aba-aba dari komandan. Hanya menoleh, kemudian mematung.
Mak Gendut memegang dadanya, dan nafasnya ngos-ngosan sambil matanya menatap pada permukaan tanah pinggir jalan. Ada yang ia amati dengan saksama di atas tanah basah itu. Betapa pentingnya yang ia amati, sampai membawa tubuhnya yang sekwintal itu terhuyung-huyung mengikuti arah pandang matanya. Kakinya berjingkat solah-olah menghindari benda-benda di bawahnya agar tidak terinjak. Dan sampailah pandangannya di pinggir selokan.
“Daun telinga!” lenguhnya. Tubuhnya terpental, terjerembab. Pantatnya yang gemuk menumbuk kubangan sisa-sisa air hujan. Air coklat itu muncrat ke segala arah, sebagian memercik muka ibu-ibu pemebli sayur.
“Jangan main drama di pagi hari.” Ketus seorang ibu sambil mengusap air kotor di mukanya.
Mak Gendut bangkit, menuju titik yang pertama kali ia amati.
“Ini bukan drama, Yem! Ini petaka. Coba kalian lihat ini.”
Ibu-ibu pembeli sayur menghampiri Mak Gendut.
“Apa itu?” mereka memperhatikan dengan teliti. “Itu saos tomat.”