"Beri aku 10 pemuda niscaya akan kuguncangkan dunia" Soekarno.
Salah satu ciri anak muda adalah idealis. Ia berpegang teguh pada pendirian, memiliki keyakinan tentang nilai kebenaran, juga memiliki cita-cita yang kuat. Ia kerap tidak mudah dibelokkan dalam menjalankan tindakan-tindakan dalam bermasyarakat. Karenanya, ia kerap tidak disukai, dianggap egois, dan dijauhi orang-orang terutama yang sedang mencari kemapaman.
Namun, tidak semua anak muda yang memiliki idealisme. Masalahnya, barangkali, pengetahuan dan ketrampilan yang ia miliki tidak mendukungnya. Ia kurang mengolah dirinya, sedikit belajar, untuk menyerap nilai-nilai dan pemikiran yang membentuk pola pikirnya. Pemikiran yang ia pahami sebagai kebenaran menurut akal pikir dan kesepakatan-kesepakatan buah pikir masih kabur untuk menjadi landasan bertindak.
Di desa, juga tidak begitu banyak pemuda yang memiliki idealisme. Lingkungan desa dianggap tidak banyak memberikan peluang, karena kultur desa yang masih membatasi dengan persaan-perasaan pakewuh bila berhadapan dengan orang tua atau orang-orang yang memiliki kedudukan di desa.
Tetapi, selalu ada pohon yang tumbuh di hamparan bebatuan. Seperti para pejuang kita berasal dari pemuda-pemuda desa yang dengan gagah berani mengorbankan dirinya untuk memperjuangkan ide-ide kemerdekaan dan pembebasan kemanusiaan.
Sekarang, ketika desa diakui "kemerdekaannya" dengan memperoleh kewenangan untuk mengatur dan mengurus dirinya sendiri, banyak orang yang masih gagab. Termasuk didalamnya pemuda desa. Mereka belum banyak mengambil peran dalam pembangunan desa yang dapat mereka rancang, laksanakan, dan awasi sendiri.
Penyebab utamanya, mereka belum menguasai prinsip-prinsip, dan tata cara menerapkan UU Desa di desanya. Penguasaan pengetahuan filosofis, sosiologis, dan yuridis dalam UU Desa masih jauh dari cita-cita yang harus diambil pemuda desa.
Saya mencoba mengetengahkan contoh-contoh positif di tengah-tengah gersangnya penerapan UU Desa. Di Desa Pandanlandung Kecamatan Wagir Kabupaten Malang ada pemuda bernama Bagus Sadewa, usianya baru 22 tahun. Kuliahnya di teknik informatika belum selesai pula, masih tingkat akhir.
Awalanya, di desanya ia masuk dalam kegiatan pemuda karang taruna. Pemerintah desanya tertarik kepadanya untuk ditempatkan pada operator desa. Ia bersedia, dan mengerjakan tugasnya dengan baik. Totalitasnya tinggi, tidak mengenal waktu untuk mengerjakan kebutuhan-kebutuhan teknologi informasi desanya. Kerap kali ia pulang tengah malam untuk mengerjakan tugas barunya itu. Masih ditambah lagi untuk menggerakkan pemuda-pemuda desa dalam wadah karang taruna.
Apakah karena bidang pembangunan desa merupakan lahan basah? Juga, tidak! Ia menjalankan dengan suka cita pekerjaan itu karena dapat mengawasi secara langsung pembangunan desa. Ia menerapkan dengan ketat mekanisme pencairan dana desa (DD) kepada Tim Pelaksana Kegiatan pembangunan (TPK) yang diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 113 tahun 2014.
Ia tidak akan merekomendasikan untuk pencairan dana untuk pembangunan kalau belum mendapat tanda terima belanja barang atau jasa. Ketika barang datang, ia sempatkan untuk memeriksa apakah barang yang dikirim sudah benar sesuai kualitas dan kuantitas yang tertera dalam pengajuan. Pernah pada pembangunan jalan paving kampung, ia mendapatkan kualitas paving yang dikirim tidak sesuai dengan yang dipesan. Ia, dengan berani, meminta penyedia barang mengembalikan paving untuk diganti sebagaimana mestinya.
"Pembangunan sudah dihitung harga dengan standar kualitas, kalau tidak dilaksanakan sesuai rencana kualitas pembangunan tidak sesuai yang diharapkan. Hasil pembangunan buruk hanya akan banyak membuang uang, yang seharusnya nanti dapat dipergunakan kegiatan lain." katanya.
Mungkin idealisme pemuda semacam itu masih ada di tempat lain. Satu lagi yangdapat saya temukan adalah Dwi Handoko, Kepala Desa Serang Kecamatan Panggungrejo Kabupaten Blitar. Berbeda dengan Bagus, Handoko lebih dewasa dan berpengalaman. Usianya 40an tahun. Spektrum pekerjaanya juga lebih luas, sebagai Kepala Desa.
Idealisme Handoko membangun desa ditunjukkan dalam konsep membangun desa. Ia memiliki jargon "dari desa untuk negeri". Ia telah memiliki peta jalan membangun desanya. Infrastruktur harus diselesaikan sampai tahun 2018, selanjutnya tinggal perawatan, dan titik tekannya akan masuk pada pemberdayaan masyarakat.
Ia juga telah menyiapkan masyarakatnya dalam kelembagaan berbentuk kelompok-kelompok, seperti Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis), Kelompok peternak kambing, kelompok pengrajin souvenir. Kelompok itu ia bina dengan pembiayaan dari desa.
Mungkin ia berbeda dengan kebanyakan kepala desa lainnya. Ia lebih menonjolkan kepemimpinannya dari pada kekuasaannya. Ia telah menghidupkan rembug desa untuk membicarakan berbagai hal tentang desanya. Ia juga melaksanakan berbagai kegiatan yang berdampak positif bagi masyarakat desa Serang. Event-event yang menghadirkan orang luar desa dapat memberi penghidupan pada masyarakat penjual makanan di pantai Serang.
Mungkin di desa lain, dengan kucuran dana desa, kepala desa tiba-tiba rumahnya megak, memiliki mobil yang bagus, suka plesir ke tempat-tempat karaoke. Pada Handoko tidak tercermin hal itu. Dalam perjalanan ke desa Serang, saya sempat main tebak-tebakan dengan teman semobil. Apa kira-kira yang ada di depan rumah Handoko? Seorang teman langsung menjawab mobil. Tetapi, ketika kami turun di depan rumahnya, mungkin perasaan teman-teman heran. Rumahnya sederhana, tidak ada mobil, yang ada sebuah kentongan berdiri dinaungi cungkup. Cuma ada sepeda motor, itu pun plat merah, sepeda motor dinas. Apa lagi yang melatar belakangi dia sebagai kepala desa, kalau bukan idelaisme membangun desa? Idealisme seorang kepala desa yang masih muda?
Kita pasti berbahagia menyaksikan sepak terjang mereka membangun desa, dan mengatakan dalam hati: kita membutuhkan banyak pemuda seperti mereka!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H