Mungkin anda punya teman semacam ini: ia selalu mencari perhatian, ia merasa telah melakukan tindakan-tindakan penting. Ia selalu ingin mengabarkan perasaan itu agar orang tahu dan menganggapnya penting.
Mungkin anda juga menjadi jengah, katika ia berkali-kali mengatakan kepada anda, dan kabar perasaannya itu tidak pernah ada hubungannya dengan anda. Bisa jadi anda menjadi merasa tertekan karena ia ingin anda menyediakan kata untuk diucapkan kepadanya: ya, kamu hebat. Mungkin juga anda hanya tersenyum, tak perlu mengungkapkan penilaian anda sebenarnya. Toh kabar tentangnya yang dijejalkan kepada anda tak ada hubungannya dengan jati diri anda.
Atau, pada jaman sosial media yang membanjir ini, teman anda tak telat memposting kabar-kabar yang menunjuklan bahwa dia ada. Kadang ia mengabarkan hal yang wah dan ia berada di tengah-tengahnya. Masih dibumbui dengan swa-foto yang menggambarlan ia menjadi bagian orang-orang penting. Awalnya, barang kali anda basa-basi memberikan komentar. Atau menyempatkan untuk ngelike. Tetapi, mengapa ada orang, teman diantara teman-teman anda yang begitu getol memperjuangkan agar orang lain mengakui jatidirinya lewat kata-katanya?
Celakanya, anda akan menemukan orang-orang seperti teman anda itu dengan mudah. Baik di realitas sosial, apalagi di media sosial. Lebih-lebih ketika anda berusaha menelusuri jejaknya, anda tidak banyak menemukan bukti-bukti tindakan yang telah mereka lakukan. Apalagi hasil "karya" yang monumental. Hasil jerih payah yang dapat menunjukkan jatidirinya, apalagi nilai manfaatnya untuk orang lain.
Ketika mendapati seperti itu, barangkali hanya akan meneguhkan pepatah-pepatah: "tong kosong nyaring bunyinya", "air beriak tanda tak dalam", atau "kakean gludug ora sido udan". Lebih kasar lagi dikatakan: omong kosong.
Betapa kita banyak dibanjiri "busa-busa", dikungkung oleh kehampaan. Lantas, gejala apa yang sedang terjadi ini?
Siang ini, Minggu 20/08/2017, sebuah stasiun televisi menyiarkan reportoar seorang pelukis terkenal, bernama Nasirun. Ada ungkapannya, yang menyitir dari pesan ibunya, saya rasa ada hubungannya dengan gejala diatas. Katanya, "pesan ibu saya, kamu jangan mengejar agar terkenal, kamu jangan berharap popularitas dalam melukis. Lukisanmu itulah yang akan men-tasbihkanmu." Pesan itu sungguh mencerahkan. Maknanya, bukan kita tidak boleh terkenal, populer, atau kaya sekalipun. Tetapi, berkaryalah dengan tekun, maka kemasyhuran itu akan mengikuti.
Agak rumit sedikit, barangkali ahli psikologi-sosial Erich Fromm mengungkapkan untuk mempertahankan jati dirinya (eksistensial) seseorang memiliki dua pilihan modus: to have, dan to be. Modus memiliki dan modus menjadi. Gejala yang saya sampaikan diatas, dapat dibaca dengan modus to have.
Modus eksistensial untuk memperoleh pengakuan atas "kepemilikan". Seseorang butuh pengakuan bahwa dia ada karena memiliki sesuatu. Ketika modus to be mereka tinggalkan sesungguhnya nilai kejuangan seperti yang tercermin pada proses kreatif Nasirun tak membantu membangun jati dirinya. Mereka hanya omong doang. Mereka menciptakan adagium/semboyan plesetan "saya omong kosong, maka saya ada".
Gejala itu, sesungguhnya telah memperlihatkan tentang keterasingan diri. Menyandang gelar sebagai manusia alienatif, kata Erich juga kata Khrisnamurti. Tentu saja, saya ingin berpesan pada diri sendiri, juga kepada anda, jati diri kita akan ditentukan sejauh mana kita menjalankan proses kreatif.
Kreatifitas Nasirun, juga kreator-kreator lainnya, dapat dipastikan diawali dengan menetapkan hati untuk memilih bidang yang dipertimbangkan akan mampu dilakukan. Pilihan itu dibangun dengan rasa kecintaan yang senantiasa ditumbuhkan dalam hati dan akal budinya. Kecintaan tidak mempertimbangkan pahit dan manis, berat dan ringannya beban, jauh dan dekatnya jarak. Kecintaan akan menggerakkan hati, pikiran, syaraf, indra, bahkan mungkin seluruh tubuh untuk melakukan tindakan.