Hujan baru turun rintik-rintik. Tanah basah, rerumputan basah, pohon-pohon diam daunnya berkilat basah, rembulan sabit basah seperti mengarungi lautan yang maha luas. Aku melangkah ke surau kecil di atas bukit dengan hati terasa basah.
Surau ini masih sunyi. Terasnya menyala dengan lampu neon 20 watt. Ada satu dua semut-semut terbang berputar-putar di pusat cahaya, sebagian berjatuhan di talam, alas teko dan gelas sisa kopi. Satu gelas, mungkin habis dipakai bergantian tiga atau empat remaja sehabis tadarus. Dan, aku duduk bersila bersandar di tiang penyangga teras surau.
Aku bisa memandang kejauhan dari teras surau ini. Surau yang bagian-bagiannya telah kusam ini pintunya menghadap ke lautan. Letaknya di bukit kecil, karenanya pemandangan di kejauhan dapat terlihat dari sini. Laut yang begerak membawa warna perak menghempas di pantai, dan pergi lagi bergulung-gulung. Menghiasi muka laut adalah siluet pohon-pohon yang bergerombol. Pohon kelapa perjajar menjulang ke langit.
Siluet pohon kelapa ini, mengirimiku masa kanak-kanak, ketika Kyai Slamet almarhum bercerita tentang peristiwa-peristiwa malam lailatul qodar. Kisah yang selalu aku kenang, “Malam itu segenap pohonan ditundukkan rebah ke bumi rendah sekali. Pohon kelapa yang begitu kokoh secara perlahan menurunkan batangnya lentur sekali sejajar dengan bumi. Dapat dipetik dengan mudah kesegaran buah-buahan yang batangnya direbahkan. Buah kelapa itu tak begitu sulit ditenggak airnya untuk melepaskan dahaga. Inilah rahmat dan kesejahteraan itu diberikan bagi yang mendapatinya.”
Kisah Pak Kyai selalu menancap dalam sanubariku, dan salu muncul pada malam-malam seperti ini. Aku selalu berharap peristiwa dalam kisah Pak Kyai datang kepadaku, setiap tahun di bulan ramadhan, di setiap sepuluh hari terakhir bulan ini. “Kesabaran dan keikhlasan akan mempertemukanmu.” Katanya.
Aku telusuri lekuk liku siluet itu, aku hitung deburan ombak, yang membalut kekaguman dan dengung kepada Kemahasucian Penggeraknya. Jiwaku terpantul-pantul, diterbangkan ke tengah lautan, dan ditegakkan di ujung-ujung pohon kelapa. Sampai jamaah witir datang berduyun ke surau ini.
Jiwaku terpaut pada-Mu wahai Penguasa Gelombang, dalam witir rakaat demi rakaat. Aku diberi kesempatan oleh-Mu di dalam malam yang dingin basah ini untuk bersujud, memohon kelebihan-kelebihan dari Yang Maha Lebih, memohon ketetapan keimanan, kesabaran, keikhlasan, rizki duniawi dan akhiroh, memohon ampun seampun-ampunnya dari Maha PengampunanMu. Aku bersujud kepadaMu hingga sujud itu tak berbekas sujud.
Malam ini, tapak-tapak witir kubawa bersama kenangan Kyai Slamet, bersama gelombang dan semilir angin yang mulai datang dari ujung laut. Aku bawa dalam simpuh kembali di teras surau, diantar langkah-langkah kaki jamaah yang melenyap di jalan menikung.
Wahai Pencipta Kebenaran, aku menunggu disini, di teras surau yang tinggi, tentang malam yang akan datang yang pernah diantar dalam untaian kisah Kyai Slamet.
***
Entah pada jam keberapa malam ini, ketika di kejauhan terdengar bunyi tambur dimainkan anak-anak penggugah saur, aku masih disini, di teras surau ini. Mata mulai memberat. Mata yang diajak serta menunggunya sepanjang tujuh malam ini.