Aku dan pasukan berhenti di depan warung yang masih buka siang itu. Satu persatu kami turun dari mobil dinas. Kami masih berseragam dinas. Kami juga masih menghunus senjata dinas; kenthes alias tongkat pentungan. Kami busungkan dada agar tampak gagah memakai pakaian lapangan hijau kusam. Satuan Polisi Pamong Praja atawa Satpol PP, demikian julukan kami. Kami bergerak serentak menuju warung yang masih buka itu.
Sebelum kami masuk, aku menyaksikan ibu penjual makanan di dalam warung sibuk mengemasi barang dagangannya. Ia dengan sigap memasukkan tempe goreng, telur asin, bakwan jagung ke dalam kantong plastik. Nasi dalam termos telah ditali kuat-kuat dengan rafiah. Ketika aku masuk, sambal goreng dalam etalase segera direnggut dan dicemplungkan dalm panci. “Jangan digaruk Pak, ini tumpuan hidup kami Pak!” Rengek ibu itu, suaranya bergetar.
“Kenapa?” Kataku. Ia pun bersimpuh di hadapanku. Tubuhnya gemetar, ketakutan akut. Mungkin karena mendengar suaraku yang tegas, suara yang keluar dari mulut berkumis tebal. Aku pegang kedua lengannya, tubuhnya yang lemas aku angkat. Wajahnya pucat, keringatnya mengucur basah. “Bu, kami lapar. Kami mau makan. Kenapa?” Kataku. “Bapak kan Satpol PP.” Suaranya hampir lenyap. Kami, sesama Satpol PP, saling berpandangan.
Djoglo Pandanlandung Malang
Juni 2016
iman.suwongso@yahoo.co.id
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H